Skip to main content

Sampah... Banjir...



Jakarta bebas dari sampah dan banjir itu mimpi! Maaf, jangan tersinggung dengan pernyataan saya. Apalagi para tukang sapu jalan dan tukang sampah yang setia menyapu jalanan yang kotor dan mengangkut sampah setiap pagi, serta gubernur baru DKI yang tak pernah lelah blusukan untuk memperbaiki kota ini. Itu tidak mutlak kok. Pernyataan saya itu relatif, kondisional, alias bersyarat dan tergantung. Kalau keadaan seperti sekarang ini tidak diubah, pernyataan saya itu bisa jadi mutlak. Kondisional atau bersyarat karena bisa diubah, tergantung bagaimana masyarakat menyikapi sampah dan banjir. Saya bisa bilang begitu juga karena pengalaman lima tahun lebih tinggal di Jakarta.

sampah di Jakarta (sumber)

Menyebalkan rasanya berjalan-jalan di jalanan atau di tempat umum di Kota Jakarta ini, apalagi kalau membawa minuman dan makanan yang menghasilkan sampah. Bagaimana tidak menyebalkan, jika saya "dipaksa" menenteng sampah ratusan meter karena tidak tersedianya tempat sampah di pinggir jalan atau di tempat umum. Sering sekali, ketika saya mau buang sampah di pinggir jalan atau di tempat umum, tempat saya harus mencari-cari dulu di sekitar saya dan kemudian berjalan puluhan bahkan ratusan meter untuk menemukan tempat sampah terdekat. Anjuran "buanglah sampah pada tempatnya" sepertinya tidak berlaku, karena minimnya fasilitas penampungan sampah di tempat umum. Wajar saja jika kemudian orang-orang lantas menjatuhkan sampah dari tangan mereka seenaknya tanpa merasa bersalah. Wong cari tempat sampah saja susah. Bahkan kadang-kadang saya sendiri mengabaikan anjuran "buang sampah pada tempatnya" karena susahnya mencari tempat sampah. Saya justru membuat anjuran sendiri. "Buanglah sampah pada tempatnya, jika tidak ada tempatnya, buanglah pada temannya." Ya, kadang-kadang ada sampah yang menumpuk di pinggir jalan, dan saya menganggapnya tempat sampah. Atau, konsisten dengan kalimat saya di atas, "teman sampah." Lalu saya buang sampah ke situ. Setidaknya "kawanan" sampah tersebut masih lebih mudah untuk dibersihkan daripada sampah-sampah yang berserakan, berhamburan, dan bertebaran tidak jelas.

Menurut pakar teknologi lingkungan, data tahun 2008 menunjukkan bahwa sampah Jakarta mencapai 27.966 meter kubik atau setara dengan 6.000 ton setiap hari. Kalau ditimbun selama dua hari, sampah di Jakarta bisa sebesar Candi Borobudur yang volumenya sekitar 55.000 meter kubik. Berarti, dalam setahun, Kota Jakarta dapat membuat 182 Candi Borobudur dengan sampah. Luar biasa. Dengan minimnya jumlah tempat sampah di tempat umum, ditambah masyarakat yang tidak mau bersusah-susah mencari tempat sampah "terdekat," saya yakin sebagian dari jumlah 27.966 meter kubik itu berserakan di mana-mana setiap hari. Nah, bahayanya sekarang ini kalau musim hujan. Banyak warga Jakarta yang mengeluh karena banjir tiap musim hujan. Malah, Bogor dituding sebagai pengirim banjir ke Jakarta. Seharusnya warga Jakarta ngaca dulu sebelum menuduh (keluhan orang Bogor). Okelah, curah hujan di Bogor tinggi, datarannya pun lebih tinggi daripada Jakarta. Jadi, jika air hujan di Bogor akan mengalir melalui sungai-sungai ke Jakarta, salah satunya Sungai Ciliwung. Air hujan dalam skala besar itu kemudian memenuhi sungai-sungai di Jakarta, air sungai meluap dan menyebabkan banjir. Apalagi jika ditambah air hujan yang turun di Jakarta. Air hujan tersebut tidak bisa mengalir ke sungai atau gorong-gorong  yang penuh dengan air (dan sampah tentunya), sehingga menggenang dan terjadi banjir. Nah sekarang kita lihat, mengapa air hujan bisa menggenang dan menyebabkan banjir. Pertama, sungai-sungai di Jakarta semakin menyempit karena pembangunan dan pembuangan limbah. Kedua, Sungai-sungai mengalami pendangkalan akibat pembuangan sampah dan limbah yang terus menerus. Ketiga, saluran pembuangan air, seperti selokan dan gorong-gorong juga disumbat oleh sampah, terutama sampah plastik. Maka, air hujan yang turun ke bumi tidak menemukan jalan keluar ke haribaan sang laut, sehingga terjadilah banjir.

Masih ada yang bertanya hubungannya seperti apa? Marilah, kalau begitu kita lihat banjir skala kecil saja. Ini berdasarkan pengalaman saya. Dulu, waktu saya masih tinggal di asrama, asrama lantai dua kebanjiran, sedangkan lantai satunya kering. Hebat kan? Ini dikarenakan air dari atas tidak dapat mengalir ke bawah akibat saluran pembuangan air tersumbat sampah. Sampahnya sih tidak spektakular, hanya potongan-potongan rambut dan beberapa bungkus permen yang menumpuk sehingga menyumbat saluran pembuangan air. Alhasil, air hujan tertahan di lantai dua dan masuk ke kamar-kamar. Luar biasa kan dampak sampah yang kecil-kecil itu. Selain itu, kejadian baru-baru ini, tempat kost Bobo kebocoran dan kebanjiran. Penyebabnya sepele, ada penghuni kost yang tidak membuang plastik bekas detergennya di tempat sampah. Saat hujan, air dari atap turun dengan limpahnya ke tempat cuci yang ada di lantai dua, sedangkan lubang saluran pembuangan air dari lantai dua ke selokan di bawah tertutup plastik bekas detergen tersebut. Maka, air hujan mencari jalan keluar yang lain, yakni masuk ke dalam kamar-kamar di lantai dua, dan kemudian merembes melalui celah-celah kecil di antara lantai dua dan lantai satu, kemudian berakhir di kamar-kamar lantai satu. Kelihatannya sampah yang kecil itu sepele, tetapi dampaknya luar biasa.

Selain sampah, sistem drainase di Jakarta juga berantakan. Gorong-gorong yang sempit, kurangnya pepohonan, serta beton yang semakin meluas di daratan yang membuat daerah resapan air semakin habis membuat banjir semakin berjaya. Menurut Pak Jokowi, gorong-gorong di Jakarta hanya 1-2 meter, sedangkan yang seharusnya adalah 16 meter. Buset, yang 14 meter lagi dikemanain tuh? Gorong-gorong yang sempit itu dipersempit lagi dengan volume sampah yang semakin besar setiap harinya. Selain itu pembangunan yang tidak ramah lingkungan juga merusak sistem drainase. Gedung-gedung dibangun dengan cara menebang pohon-pohon dan membeton tanah di sekitarnya. Semakin hari semakin banyak gedung yang seperti ini. Lalu tidak ada yang disisakan untuk resapan air.

Lalu, masihkah warga Jakarta mau menyalahkan Bogor sebagai pengekspor air hujan dan banjir? Seharusnya tidak. Yang perlu disalahkan adalah sampah. Oh, maaf, sampah tidak salah, yang salah adalah yang membuangnya sembarangan. Uups, mungkin ada yang tersinggung. Ya sudah, tidak usah mencari siapa yang salah. Yang kita cari yang bertanggung jawab lah. Ya, pastinya warga Jakarta sendiri. Warga Jakarta bertanggung jawab untuk mencegah banjir, dengan cara mengurangi produksi sampah serta membuang sampah dengan baik dan benar. Masak buang sampah saja perlu diajari lagi, kayak anak SD. Semua orang sudah tahu kalau buang sampah itu ya pada tempat sampah. Tetapi itu ah susahnya. Kebanyakan teori hanya menjadi teori tanpa praktik, termasuk teori membuang sampah. Masalah lainnya sekarang, walaupun sudah ada inisiatif untuk membuang sampah pada tempat sampah, inisiatif untuk mengejawantahkan teori menjadi praktik, tetap saja sulit karena tempat sampah sulit ditemui. Maka, jalan, tanah, rumput, selokan, sungai, genangan air, bahkan atap rumah dijadikan tempat sampah.

Tetapi syukurlah masih ada tempat sampah di tempat umum di Jakarta, sekalipun terbatas. Bahkan kadang-kadang ada yang menggunakan dua tempat sampah, sampah kering dan sampah basah. Lucunya penggunaan nama sampah kering dan sampah basah ini menyesatkan. Saya sering menemukan daun kering di tempat sampah basah dan gelas air mineral yang masih berisi air di tempat sampah basah. Lihat kan betapa menyesatkannya nama sampah kering dan sampah basah. Daun-daunan yang seharusnya merupakan sampah basah, dimasukkan ke dalam tempat sampah kering karena daunnya sudah kering, sedangkan gelas plastik yang seharusnya masuk golongan sampah kering malah dimasukkan ke tempat sampah basah, karena masih ada airnya dan basah. Ini sebenarnya mengindikasikan bahwa masyarakat belum sadar lingkungan. Selain itu penamaan juga harus diganti menjadi sampah organik dan non-organik. Atau supaya lebih jelas lagi dibedakan menjadi sampah organik, sampah plastik, kertas, kaca, dan lain-lain. Semakin banyak jenisnya semakin baik, supaya proses pendaurulangan dapat dilakukan dengan lebih mudah.

Setelah ini bagaimana? Tempat sampah saja tidak cukup. Perlu ada kesadaran dan penyadaran untuk mengurangi sampah, serta membuang sampah dengan benar. Biasanya orang-orang sering mengoarkannya dengan semboyan 3R: Reduce, Reuse, Recycle. Itu sudah ketinggalan, bos. Mas Tunggul menambahkannya menjadi 7R, yaitu Rethink, Repair, Reduce, Reuse, Recycle, Replant, Repeat. Ada lagi yang menambahkan dengan restore, recover, respect, dan lain-lain. Nah, saya jadi tertarik untuk menggabungkan semuanya menjadi 11R: Repent (bertobat), Respect (hargai lingkungan), Rethink (berpikir lagi jika mau melakukan sesuatu), Repair (perbaiki barang-barang yang masih bisa diperbaiki, jangan langsung dibuang), Reduce (kurangi sampah yang tidak perlu), Reuse (gunakan lagi yang masih bisa digunakan, kebanyakan plastik), Restore (mengembalikan barang-barang ke tempat seharusnya sehingga tidak tercecer dan menjadi sampah), Recycle (daur ulang sampah menjadi pupuk, tas, dompet dan sebagainya), Replant (tanami tanah-tanah sekitar dengan tanaman hijau), Recover (mengambil bahan-bahan yang masih berguna dari tumpukan sampah. Bisa juga diartikan memulihkan keadaan lingkungan), Repeat (ulangi 10R di atas). Dari 11R itu, biasa mewujudkan 3R saja sudah baik. Tidak perlu mengeluh banjir kiriman dari Bogor melulu.

Comments

Popular posts from this blog

Kasih Allah akan Semesta

(Telah dipublikasi dalam Majalah Berkat Edisi Desember 2018 Tahun XXX nomor 121, dengan judul "Kasih Dinyatakan dalam Perbuatan") Identitas kekristenan sejatinya ialah cinta kasih. Sayangnya, seringkali kasih menjadi sekadar slogan dan kata-kata indah yang tak jarang kehilangan maknanya. Sayangnya, kasih hanya berhenti pada kata, puisi, lagu, atau wacana dan keyakinan saja, tanpa terlihat wujudnya. Seorang psikiater asal Amerika, Karl Menninger, mengatakan “Sebenarnya cinta adalah obat bagi semua penyakit dan penderitaan di dunia. Namun pada kenyataannya, cinta menjadi suatu resep yang sering diberikan tapi jarang digunakan.” Kasih dibicarakan dan dikumandangkan di mimbar-mimbar ibadah dengan segala konsepnya; gereja berteori tentang bagaimana mengasihi orang lain, namun, semua hanya sebatas teori. Kenyataan ini pun yang terjadi di jemaat tujuan surat Yohanes. Kasih sering sekali diucapkan, namun tindakan tidak semanis ucapan. Kenyataan ini yang menjadi dasar bagi kritik

The Partaker

Mengapa   partaker ?   Partaker   adalah kata benda yang diturunkan dari kata kerja   partake , yang artinya "mengambil bagian." Jadi, partaker dapat diterjemahkan "pengambil bagian" atau "orang yang mengambil bagian." Mengambil bagian dalam apa? Ini yang perlu dijelaskan. Partaking, partisipasi, atau ambil bagian sering kita lihat dalam kerangka sebuah kegiatan. Misalnya, saya mengambil bagian atau berpartisipasi dalam upacara bendera di sekolah, atau saya mengambil bagian dalam perkumpulan tertentu. Namun, mengambil bagian yang saya maksud di sini adalah mengabil bagian dalam Allah, dalam persekutuan Allah. Dalam kekristenan, teruma kekristenan Timur, berpartisipasi atau mengambil bagian dalam Allah menjadi konsep yang penting dan merupakan tujuan kehidupan manusia. Allah menciptakan manusia dan ciptaan lainnya untuk mengambil bagian dalam persekutuan ( koinonia ) dengan Allah. Namun, tujuan ini dirusak oleh dosa. Dosa ( hamartia ) berarti meleset,

Saya Tidak Tahu

Sahabat Sepanjang Embara oleh Galabara Ketika sahabat saya, Ujun Junaedi, meminta saya menulis refleksi untuk penahbisannya, saya agak mempertanyakan tema yang ia angkat, “Sahabat dalam Embara.” “Yakin embara?” tanya saya kepadanya. Kata embara dalam Bahasa Indonesia berarti pergi ke mana-mana tanpa tujuan dan tempat tinggal tertentu. Dengan demikian, embara bisa diartikan sebagai perjalanan ke mana-mana yang tak tentu arah, perjalanan yang tanpa tujuan. Dengan menggunakan kata “embara” apakah Ujun memahami ziarah kehidupannya sebagai perjalanan yang tanpa tujuan? Tentu ia memiliki alasannya sendiri memilih tema ini, yang ia tuliskan juga dalam refleksi penahbisannya. Saya di sini tidak akan membahas refleksi Ujun lebih jauh. Sila anda baca sendiri refleksinya dan alasannya memilih kata “embara” tersebut. Saya sendiri melihat kata embara dari sudut pandang yang berbeda dari Ujun. Teks Kitab Suci yang diangkat sebagai landasan tema ini adalah kisah Perjalanan ke Emaus. Kisah i