Skip to main content

Telanjang

Telanjang di depan umum itu tidak sopan!!!
Ada benarnya, tergantung waktu dan tempatnya. Ratusan tahun lalu, orang Indonsedia telanjang di tempat umum, bukan sesuatu yang tidak sopan. Tapi sekarang, jangankan telanjang, perempuan yang kelihatan bahu atau belahan dada saja dianggap tidak senonoh.dibilang sok kebarat-baratan. Ikut-ikutan barat yang tidak bermoral. Orang Eropa yang telanjang atau berpakaian minim dibilang tidak tahu etiket, tidak bermoral, dan sebagainya.

weits, tunggu dulu. ratusan tahun lalu, itu yang dikatakan orang Eropa ketika melihat orang Indonesia telanjang, atau hanya memakai cawat di depan umum. Mereka bilang orang-orang itu barbar, tidak beradab, tidak bermoral, dan sebagainya. Lalu mereka mengajarkan orang-orang yang dibilang primitif itu untuk pakai pakaian mereka, kemeja, gaun, celana, rok, jas dan dasi (seutas kain tidak penting yang akan bikin saya dikritik habis-habisan di hari Minggu kalau tidak memakainya). Lalu mereka bilang itu yang senonoh, yang beradab dan sopan.

Beratus-ratus tahun kemudian, itu menjadi budaya orang Indonesia. Pakaian yang tertutup dan dianggap sopan oleh orang Eropa itu diinternalisasi menjadi sesuatu yang memang sudah seperti itu adanya. Nilai-nilai ketelanjangan dan norma kesopanan pun berubah. Ditambah lagi, ada orang-orang padang gurun yang berdagang di Nusantara dan memberlakukan nilai-nilai berpakaian mereka kepada penduduk lokal. Mereka yang selalu berpakaian tertutup di padang gurun untuk mencegah dehidrasi, dengan dalih kepercayaan mengindoktrinasi orang-orang lokal untuk juga berpakaian tertutup. Nilai-nilai orang Indonesia semakin berubah soal ketelanjangan. Sebelum masuknya orang Eropa dan orang Arab, bercawat dan telanjang di depan umum merupakan sesuatu yang wajar, lumrah, normal. Setelah kedatangan orang-orang itu, orang Indonesia sendiri pun (terutama yang merasa diri kebarat-baratan atau yang merasa dirinya saleh) merasa bahwa sudah seharusnya manusia memakai pakaian yang tertutup, tidak terbuka, atau setengah dan seperempat terbuka.

Nilai-nilai di Eropa juga berubah. Setelah berbagai macam revolisi yang melanda Eropa, kebebasan menjadi hal utama. orang bebas-bebas saja untuk leri-lari telanjang di jalan raya, atau pakai pakaian yang kehabisan benang dan kain, atau hanya memakai cawat di pinggir pantai. Di Eropa, itu menjadi lumrah, menjadi biasa. Tidak ada norma yang mengatur orang harus berpakaian tertutup demi menjaga kesopanan. Masalah pakaian menjadi masalah privat.

Lalu, dimulailah episode orang Eropa dan orang Indonesia saling mengatai-katai. Dan lagi-lagi orang Indonesia dikatai primitif. Orang Eropa yang berunjung di Indonesia akan merasa risih karena orang Indonesia merasa risi jika perempuan Eropa memakai tanktop tanpa bra atau beha. Menurut orang Eropa, hal-hal seperti itu tidak penting. Lain lagi orang Indonesia. Mereka malah berpikir orang Eropa itu tidak sopan, tidak bermoral, pakai bikini di tengah jalan. Malah orang-orang Idonesia harus berpakaian serapi-rapinya, sampai-sampai ada aturan paaian apa yang harus dipakai dalam acara apa atau di tempat apa. Pengalaman saya, saya disuruh pulang setelah jalan jauh-jauh untuk menukar uang recehan seberat 5 kg di bank sntral, hanya karena saya pakai kaos oblong dan sendal gunung. Kata satpamnya, kalau mau masuk saya harus pakai kemeja dan sepatu. Plis deh, gue cuma mau nuker duit doang kkali, bukan mau pesta.

orang eropa akan bingung dengan cara berpakaian orang Indonesia yang harus rapi, apalagi cuma untuk tanda tangan. Risi kalau pakai bikini dilihatin dan diomongin orang yang lihat dan sebagainya. Sedangkan orang Indonesia sudah pasti mengatai orang Eropa tidak bermoral. Bahkan kalau ada orang Indonesia yang telanjang atau pakai cawat di jalan, dibilang sok kebarat-baratan. padahal dulu orang Indonesia diajar oleh orang Eropa supaya tida telanjang di depan umum, harus pakai baju yang tertutup. Harusnya yang kebarat-baratan adalah mereka yang pakai kemeja dan dasi di segala kesempatan dan mengatai orang yang pakai tanktop tidak sopan. Hadeh... jadi tebalik. Dulu orang Eropa yang mengajarkan orang Indonesia berpakaian "sopan." Sekarang orang Indonesia sudah berpakaian "sopan." Tapi ketika orang Eropa telanjang "dimarahi" orang Indonesia karena itu tidak sopan, mereka protes. Orang Indonesia juga, diajari orang Eropa berpakaian "sopan." Lalu ada orang yang pakai pakaian tanktop atau celana dalam dibilang kebarat-baratan.

Sekarang ada yang namanya UU pornografi, yang mengatur orang harus berpakaian "sopan" dan tidak mengundang nafsu. Mengundang nafsu siapa? Saya lihat perempuan telanjang atau laki-laki telanjang tidak nafsu. Tapi ada orang yang lihat perempuan berpakaian lengkap ditambah hijab jadi nafsu, cuma karna lihat telapak tangan, atau lihat pantatnya yang tertutup. Aturan kayak gini kan goblog. Berarti orang telanjang sopan karena tidak bikin saya nafsu, sedangkan orang berpakaian tertutup lengkap tidak sopan karena bisa bikin orang lain nafsu. Kan rancu. Maunya apa sih ini? Heran deh, gue. Masalahnya bukan pakaianya yang bikin nafsu, emang orang yang lihat aja yang nafsu melulu. Orang lain yang nafsu, saya yang disalahin.

Yah, tapi begitulah yang terjadi. Nilai-nilai berubah, pandangan masyarakat mengenai sesuatu juga berubah. Masing-masing komunitas memiliki nilai-nilai yang berbeda dari komunitas lainnya. Tapi bukan berarti nilai-nilai yang saya anut lebih benar daripada nilai-nilai yang anda anut. Nilai-nilai itu kan yang buat manusia. Tidak ada manusia yang sempurna atau yang paling benar.

Comments

  1. makanya, yang seharusnya diperhatikan itu bagaimana mengubah pola pikirnya, bukan pakaiannya. stupid, memang. sama aja kayak pas ada pemerkosaan perempuan, si perempuan malah ditanya, "kamu kok bisa diperkosa?" kalau aku yang jadi si perempuan sih, bakal jawab, "ga tau ya. tanya aja sama pelakunya." terus si penanya bakal bilang, "kamu pake baju mini-mini kali?" yaelah, yang pake baju kegedean juga ada yang diperkosa. heran deh, dengan uu ini berasa tubuh perempuan itu dianggap kotor terus mengundang napsu. sebenernya napsu pun gapapa, alamiah dan manusiawi, bukan? tapi ya selanjutnya gimana orang yang napsu itu menindaklanjuti pikiran dia yang liar itu. sebenernya kasian juga laki-lakinya (bukan mau melakukan generalisasi). kalau tubuh perempuan harus ditutupi demi menjaga pikiran laki-laki supaya tidak liar, berarti bukankah mereka (pembuat kebijakan) itu secara tidak langsung mengiyakan kalau laki-laki itu budak dari napsu mereka sendiri? kalau ngeliat paha langsung napsu, kalau ngeliat belahan dada langsung napsu. kasian banget jadi kayak binatang. tapi berita bahagianya adalah bahwa masih banyak laki-laki yang masih manusia, bukan kayak binatang kayak gitu, dan sekarang bahkan makin banyak feminis laki-laki yang berjuang untuk kesetaraan gender.

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

KRISTEN PROGRESIF

Beberapa waktu belakangan, sedang ramai nih di media sosial yang resah soal Kristen Progresif. Saya dibagikan video-video ceramah beberapa "tokoh" Kristen. Katanya Kristen Progresif ini dipropagadakan di Indonesia oleh Brian Siawarta, seorang pastor yang eksis di media sosial. Banyak orang Kristen resah sebab katanya Kristen progresif ini sesat lah, jadi ancaman kekristenan lah, yang tidak percaya Alkitab lah, tidak mengakui Yesus sebagai juruselamat lah, dan lain-lain. Wah... Saya juga jadi ikutan resah nih . Sebenarnya apa sih Kristen Progresif itu? Kalau berdasarkan definisi para "tokoh" Kristen dan orang-orang yang resah, Kristen progresif itu ya aliran sesat. Namun, itu pelabelan yang menurut saya terlalu sempit dan picik. Karena itu, mari kita lihat dulu arti kata "progresif". Menurut KBBI, "progresif" berarti, 1. ke arah kemajuan; 2. berhaluan ke arah perbaikan keadaan sekarang (tentang politk); 3. bertingkat-tingkat naik (tentang aturan

Kasih Allah akan Semesta

(Telah dipublikasi dalam Majalah Berkat Edisi Desember 2018 Tahun XXX nomor 121, dengan judul "Kasih Dinyatakan dalam Perbuatan") Identitas kekristenan sejatinya ialah cinta kasih. Sayangnya, seringkali kasih menjadi sekadar slogan dan kata-kata indah yang tak jarang kehilangan maknanya. Sayangnya, kasih hanya berhenti pada kata, puisi, lagu, atau wacana dan keyakinan saja, tanpa terlihat wujudnya. Seorang psikiater asal Amerika, Karl Menninger, mengatakan “Sebenarnya cinta adalah obat bagi semua penyakit dan penderitaan di dunia. Namun pada kenyataannya, cinta menjadi suatu resep yang sering diberikan tapi jarang digunakan.” Kasih dibicarakan dan dikumandangkan di mimbar-mimbar ibadah dengan segala konsepnya; gereja berteori tentang bagaimana mengasihi orang lain, namun, semua hanya sebatas teori. Kenyataan ini pun yang terjadi di jemaat tujuan surat Yohanes. Kasih sering sekali diucapkan, namun tindakan tidak semanis ucapan. Kenyataan ini yang menjadi dasar bagi kritik

Saya Tidak Tahu

Sahabat Sepanjang Embara oleh Galabara Ketika sahabat saya, Ujun Junaedi, meminta saya menulis refleksi untuk penahbisannya, saya agak mempertanyakan tema yang ia angkat, “Sahabat dalam Embara.” “Yakin embara?” tanya saya kepadanya. Kata embara dalam Bahasa Indonesia berarti pergi ke mana-mana tanpa tujuan dan tempat tinggal tertentu. Dengan demikian, embara bisa diartikan sebagai perjalanan ke mana-mana yang tak tentu arah, perjalanan yang tanpa tujuan. Dengan menggunakan kata “embara” apakah Ujun memahami ziarah kehidupannya sebagai perjalanan yang tanpa tujuan? Tentu ia memiliki alasannya sendiri memilih tema ini, yang ia tuliskan juga dalam refleksi penahbisannya. Saya di sini tidak akan membahas refleksi Ujun lebih jauh. Sila anda baca sendiri refleksinya dan alasannya memilih kata “embara” tersebut. Saya sendiri melihat kata embara dari sudut pandang yang berbeda dari Ujun. Teks Kitab Suci yang diangkat sebagai landasan tema ini adalah kisah Perjalanan ke Emaus. Kisah i