“sesungguhnya
segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang
paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku.” (Matius 25:40)
Allah yang Tidak Terduga
Allah
Trinitas, fokus dan sumber segala kehidupan, seringkali dijelaskan dengan
perikhoresis. Perikhoresis berasal dari Bahasa Yunani, yang dapat diartikan
kesalingterikatan mutual antara ketiga Pribadi ilahi, atau persekutuan tiga
Pribadi (person) ilahi yang sangat
akrab sedemikian hingga ketiganya saling masuk, saling rangkul dan saling
memberi ruang. Perikhoresis juga kerap kali dimaknai sebagai tarian ilahi, dari
kata khoreuo, yang berarti menari.
Perikhoresis berarti tarian ilahi yang merengkuh seluruh ciptaan untuk menari
bersama Allah Trinitas, menuju ke dunia dan kembali kepada Allah Trinitas.
Perikhoresis mengandung kata khora,
yang berarti ruang, wadah, rahim. Khora
menjadi sebuah bagian yang penting dari perikhoresis. Beberapa teolog
menjelaskan khora ini sebagai ruang
yang dibuka Allah untuk merangkul seluruh ciptaan masuk ke dalam persekutuan
cinta kasih Allah. Sang Anak juga dilihat sebagai khora, yang mengandung atau mewadahi seluruh ciptaan, karena di
dalam dan melalui Sang Anaklah seluruh ciptaan dapat mengenal Allah.
Richard
Kearney, seorang filsuf Irlandia, menjelaskan khora dalam perikhoresis ini sebagai sebuah ruang kemungkinan
Allah. Perikhoresis adalah tarian di sekeliling khora, peri-khora,
mengelilingi ruang. Bagi Kearney, pastilah ada sebuah ruang bebas pada hakikat
ilahi yang terdalam, ruang yang dikelilingi oleh tarian ilahi itu, yakni ruang
kemungkinan. Maka, Allah bukanlah Allah yang adalah (God who is), melainkan Allah yang mungkin (God who may be). Kemungkinan adalah salah satu dimensi dalam
perikhoresis, yang menunjukkan bahwa selalu ada ruang dari Allah yang dibiarkan
terbuka. Ruang ini oleh Catherine LaCugna, seorang teolog feminis Katolik,
dibahasakan sebagai misteri yang tak terkatakan dari Allah. LaCugna mengatakan
bahawa Allah Trinitas itu merengkuh seluruh ciptaan, tetapi tetap menyisakan
misteri yang tidak terjangkau oleh ciptaan. Misteri yang tak terkatakan dari
Allah itulah yang seharusnya selalu mengingatkan kita bahwa selalu ada yang
lebih dari Allah, yang tidak terduga. Dimensi kemungkinan ini pula yang
menunjukkan gambaran bahwa Allah hadir dengan cara yang mengejutkan, karena
Allah melebihi apa yang dapat kita pahami. Kasih karunia Allah yang melimpah
itu selalu berlebih.
Semua
rumusan dan tradisi teologis yang terpikirkan oleh manusia tidak dapat
menggambarkan Allah seutuhnya. Selalu ada misteri dari Allah yang tidak
terkatakan dan tidak tergapai, Allah bertindak dengan cara yang melampaui apa
yang kita pikirkan dan bayangkan. Allah yang mengejutkan ini juga yang dialami
oleh orang-orang yang menghadapi penghakiman, yang digambarkan dalam Matius
25:31-46. Baik kelompok “domba” maupun kelompok “kambing” sama-sama terkejut
dengan apa yang Yesus katakan. Perkataan meraka “Tuhan, bilamanakah kami
melihat Engkau...” (ay. 37, 44), menujukkan kedua kelompok ini terkejut dengan
kegagalan mereka untuk mengenali Tuhan, bahkan terkejut dengan di mana mereka
menjumpai Tuhan. Tidak ada yang menyangka akan menjumpai Tuhan dalam wajah
mereka yang lapar dan haus, asing dan telanjang, sakit dan terpenjara.
Menjumpai Allah dalam Sesama
Sebenarnya
sepanjang sejarah pun Allah kerap kali menghadirkan diriNya dengan cara-cara
yang mengejutkan dan tidak terduga. Allah tidak hadir ke dunia untuk memerintah
manusia di pusat kekuasaan seperti Roma, melainkan kota kecil Betlehem melalui
orang-orang lemah dan ringkih yang juga terkejut oleh tindakan Allah ini. Ia
tidak datang untuk menaklukan dunia dengan unjuk kekuatan, malah mati di salib
yang hina. Ia pun terus mengejutkan kita dengan menjumpai kita melalui
orang-orang yang mungkin tidak kita harapkan: orang-orang miskin dan
geladangan, mereka yang telanjang dan terpenjara.
Dengan
mengidentifikasi Allah yang mulia itu dengan “saudara-Ku yang paling hina,”
sepertinya Yesus mau mengganggu cara pandang orang-orang, serta mengundang kita
untuk menjumpai atau dijumpai Allah dengan cara yang berbeda. Dalam perumpamaan
ini juga sepertinya Yesus mau menunjukkan bahwa kehadiran dan penyertaannya
ditujukan bagi semua orang, bahkan juga bagi mereka yang sangat membutuhkan
perhatian. Malah, bukan hanya bagi mereka, melainkan juga melalui mereka.
Dengan kata lain, jika kita ingin menjumpai Allah dan mengalami kehadiran Allah
yang utuh dan sejati, maka kita perlu menjumpai orang-orang di sekitar kita,
menjalin relasi dan memperhatikan yang lain. Seolah-olah, Yesus ingin
mengganggu kita dengan mengatakan bahwa kita memiliki tanggung jawab terhadap
orang lain.
Seorang
filsuf Yahudi asal Lithuania, Emmanuel Levinas, mengatakan bahwa orang lain
adalah realitas yang tak terhingga, yakni realitas yang tidak mungkin dapat
kita reduksi ke dalam pikiran kita; Ia berada di luar dan mengatasi kesadaran
kita; Sebuah misteri yang bukan untuk dijelaskan, yang tidak dapat kita gapai
sepenuhnya. Levinas menggunakan istilah wajah untuk menyatakan yang Lain
tersebut. Wajah itu adalah orang lain dalam keberlainannya. Wajah itu
mengatakan kepada kita “terimalah aku, jangan membunuh aku.” Menurut Levinas,
ketika berhadapan dengan wajah yang Lain, maka kita menyadari bahwa kita
terpanggil untuk bertanggung jawab terhadapnya. Wajah itu menyapa dan
mengundang kita untuk meresponsnya dengan tanggung jawab, dengan mempraktikkan
keadilan dan perdamaian. Levinas menggambarkan wajah yang lain itu dalam diri
para janda, yatim piatu dan orang asing. Kehadiran mereka adalah undangan etis
bagi kita untuk merespons dengan tanggung jawab.
Levinas
juga menyatakan wajah sebagai jejak Yang Tak Terbatas. Perjumpaan dengan wajah
yang lain merupakan sebuah “epifani,” tak ubahnya perjumpaan dengan Allah.
Dalam wajah sesama yang unik itu kita melihat Dia Yang Transenden. Bahkan kita
tidak dapat mengenal dan membangun relasi dengan Allah tanpa melalui relasi
dengan manusia lain. Dimensi ilahi terbuka dari dan melalui wajah orang lain,
yang dimanifestasikan dalam wajah para janda, yatim piatu, orang asing, dan
mereka yang terpinggirkan. Matius 25:40 dengan jelas menyatakan bahwa Allah
hadir dalam diri mereka yang lapar, haus, telanjang, sakit, terpenjara dan
diasingkan. Kehadiran yang lain itu mengundang kita bertanggung jawab untuk
memperhatikan mereka. Memperhatikan mereka dengan kebaikan dan keadilan, adalah
juga melakukannya untuk Allah yang hadir dalam mereka.
Kisah
Penghakiman Terakhir dalam Matius 25:31-46 memperlihatkan bahwa Allah hadir
dalam diri orang-orang yang lemah, miskin dan terpinggirkan. Kita pun dapat
melihat bahwa kelompok “domba” adalah orang-orang yang memberi perhatian kepada
saudara yang paling hina. Namun, bukan Allah yang mengejutkan dan tak terduga
namanya jika kita tahu secara pasti kehadiranNya. Mungkin Allah tidak hanya
hadir dalam mereka yang hina. Jangan-jangan Ia juga hadir dan dapat dijumpai
dalam kelompok “kambing” yang seringkali dihakimi sebagai orang-orang yang tidak
peduli, orang-orang yang jahat dan dianggap sebagai musuh. Mungkin Ia juga
hadir dalam diri para “domba” yang dianggap sebagai orang-orang benar dan
setia; Jangan-jangan Allah tidak hanya kita jumpai dalam wajah mereka yang
lemah, menderita dan terpinggirkan, tetapi juga dalam wajah mereka yang
menyebalkan dan kita anggap musuh. Mungkin juga Ia tidak hanya hadir dalam diri
manusia, tapi dalam ciptaan-ciptaan lain yang seringkali luput dari perhatian
kita. Jangan-jangan Ia pun hadir dalam ketidakhadiranNya.
Kamu Melakukannya untuk Aku
Allah
yang tak terduga itu juga mengejutkan saya dalam berbagai persitiwa yang
terjadi dalam proses kehidupan saya. Saya tidak pernah menduga akan masuk
sekolah teologi, bahkan sampai menjalani proses kependetaan sejauh ini. Pernah
saya putus asa dan ragu untuk melanjutkan proses ini karena kecelakaan yang
saya alami, namun dengan cara yang tidak terduga Ia menguatkan saya untuk
bangkit lagi dan berjalan lebih jauh. Saya tidak pernah menyangka akan
menjalani tahap perkenalan dan orientasi di Surabaya, kota yang sangat asing
bagi saya. Bahkan, keputusan saya untuk menerima panggilan ini pun tidak pernah
saya duga. Ia menyapa saya melalui orang-orang yang meyebalkan dan menyusahkan.
Namun Ia juga menyapa saya melalui orang-orang yang mengasihi dan terus
menyemangati saya. Ia menyapa saya melalui kehadiranNya dalam berbagai cara,
bahkan melalui ketidakhadiranNya. Dalam proses ini saya merasa Allah sedang
bermain-main, sedang bercanda dengan saya. Tapi itulah Allah, Ia menyatakan cinta
dan rahmatNya dengan berbagai cara yang mengejutkan, melampaui apa yang dapat
kita pikirkan dan kita terima.
Allah
yang mengejutkan itu hadir baik dalam proses saya berteologi maupun berjemaat,
melaui perjumpaan-perjumpaan dengan berbagai macam pribadi. Proses ini
“memaksa”saya untuk berjumpa dengan orang lain dan mengalami perjumpaan dengan
Allah di dalamnya. Memang tidak terlalu sulit bagi saya untuk merasakan
kehadiran Allah dalam pribadi-pribadi yang murah hati, yang menyenangkan, dan
peduli pada saya. Bahkan, saya pun mengalami perjumpaan itu dalam orang-orang
yang diasingkan, disingkirkan, digusur dan diperkosa haknya, mereka yang
berjuang untuk hidup, yang berjuang menghadapi penolakan, mereka yang hidup
dalam ketakutan dan trauma. Namun, ketika berhadapan dengan orang-orang yang
menurut saya menyebalkan, yang menyakiti dan menolak saya, sulit rasanya
menemukan Allah di situ.
Namun
demikian, kejutan-kejutan ilahi yang saya alami membuat saya berefleksi dan
belajar bahwa cinta dan rahmat Allah itu hadir melampaui sekat dan label yang
kita buat. Frasa “saudaraKu yang paling” yang dikatakan Yesus, kemudian saya
maknai lebih luas. Bukan hanya mereka yang miskin, lemah, terpinggirkan dan
terhina, tetapi juga mereka yang kita hina, yang kita musuhi, yang kita benci,
kita remehkan dan abaikan, atau pun yang membenci, memusuhi dan menolak kita.
Apa pun yang kita lakukan untuk mereka, kita melakukannya untuk Allah. Dalam
semua hal yang baik atau buruk, menyenangkan atau menjengkelkan, cinta dan
rahmat Allah yang tak terduga itu hadir dan menyapa kita. Allah, Sang Misteri
itu, berkenan dijumpai dan menjumpai kita.
Saya
ingin menutup refleksi ini dengan sebuah cerita yang pernah dikisahkan Anthony
de Mello, seorang imam Yesuit yang banyak menulis tentang spiritualitas.
Seorang kepala biara
sedih dengan keadaan biaranya. Kamar-kamar biara yang tadinya penuh dengan para
rahib, kini menjadi sunyi. Masih ada segelintir rahib bertahan dan mereka
menjalani tugasnya dengan berat hati. Itu pun mereka saling curiga, saling
menyalahkan, saling menjatuhkan. Tidak ada damai sejahtera di antara mereka.
Kepala biara ini akhirnya menemui seorang guru dan menceritakan masalahnya.
“Apakah semua ini
disebabkan oleh dosa-dosa kami?” tanya kepala biara kepada Guru. “Ya” jawab
sang Guru, “Dosa ketidakpedulian.”
“Apa maksudnya?”
“Seorang dari antaramu sebenarnya adalah Sang Mesias yang menyamar, dan kalian
tidak tahu akan hal ini.” Sesudah mengatakan hal itu, sang Guru menutup matanya
dan kembali bermeditasi.
Kepala biara itu
segera kembali ke biaranya. Kepalanya dipenuhi pertanyaan. Dia tidak habis
pikir mengapa dia tidak mampu menyadari bahwa Sang Mesias ada di dalam biaranya
Sesampai di biaranya,
ia segera mengumpulkan para rahib dan menceritakan hasil pertemuannya dengan
sang Guru. Setelah mendengar berita itu, mereka saling memandang tidak percaya.
Namun sejak hari itu mereka saling memperlakukan setiap orang dengan baik
dan hormat. “Kamu tidak pernah tahu, siapa sesungguhnya orang yang sedang
bergaul dengan kamu. Bisa jadi dialah sang Mesias yang sedang menyamar itu,”
kata mereka kepada diri masing masing. “Kalau ternyata benar bahwa orang itu
adalah Mesias, dan aku memperlakukannya dengan tidak sopan, aku sendiri
akhirnya yang menyesal”
Perlahan tapi pasti,
suasana di biara itu menjadi penuh semangat kegembiraan. Tidak lama kemudian,
orang-orang kembali berdatangan ke biara itu. Seiring perubahan ini, gereja pun
kembali menggema karena nyanyian suci dan riang dari para rahib yang
mengumandangkan semangat cinta kasih.
Jangan-jangan,
orang-orang di sekitar kita adalah Mesias yang menyamar. Jangan-jangan kita
tidak sadar dan tidak peduli akan kehadiran Allah dalam sesama kita. Mungkin,
karena Ia adalah Allah yang menjumpai dan dijumpai dalam kejutan-kejutan yang
tak terduga. Ia adalah Sang Misteri, yang cinta dan rahmatNya melampaui segala
yang dapat kita pikirkan dan bayangkan.
Comments
Post a Comment