Skip to main content

KRISTEN PROGRESIF

Beberapa waktu belakangan, sedang ramai nih di media sosial yang resah soal Kristen Progresif. Saya dibagikan video-video ceramah beberapa "tokoh" Kristen. Katanya Kristen Progresif ini dipropagadakan di Indonesia oleh Brian Siawarta, seorang pastor yang eksis di media sosial. Banyak orang Kristen resah sebab katanya Kristen progresif ini sesat lah, jadi ancaman kekristenan lah, yang tidak percaya Alkitab lah, tidak mengakui Yesus sebagai juruselamat lah, dan lain-lain. Wah... Saya juga jadi ikutan resah nih. Sebenarnya apa sih Kristen Progresif itu? Kalau berdasarkan definisi para "tokoh" Kristen dan orang-orang yang resah, Kristen progresif itu ya aliran sesat. Namun, itu pelabelan yang menurut saya terlalu sempit dan picik. Karena itu, mari kita lihat dulu arti kata "progresif". Menurut KBBI, "progresif" berarti, 1. ke arah kemajuan; 2. berhaluan ke arah perbaikan keadaan sekarang (tentang politk); 3. bertingkat-tingkat naik (tentang aturan pemungutan pajak dan sebagainya). Kalau seperti ini, berarti bagus dong, Kristen progresif artinya Kristen yang menuju ke arah kemajuan.

Namun demikain, yang sedang ramai di media sosial berbeda. Kristen progresif itu dicap sebagai orang-orang yang sesat. Mereka tidak mengakui keselamatan hanya di dalam Yesus Kristus dan semua orang bisa diselamatkan walaupun tidak percaya kepada Yesus; orang-orang ini tidak mengakui bahwa Alkitab adalah Firman Allah yang mutlak; orang-orang ini juga tidak percaya surga dan neraka. Oke, kalau begitu ada masalah dengan definisi kata "progresif" di sini. Makanya, saya masih penasaran dengan kata progresif ini. Kalau begitu, mari kita lihat etimologi kata "progresif". Kata "progresif" berasal dari kata "progres" ditambah imbuhan "-if", yang menunjukkan sifat. Kata "progres", yang dalam KBBI berarti kemajuan, berasal dari bahasa Latin, progressus, yang berarti kemajuan. Lah... sama. Ia dibentuk dari awalan pro-, yang artinya "maju" atau "ke arah depan", dan kata gradi, yang artinya "melangkah" (kata bendanya gradus, "langkah"). Jadi, progres bisa diartikan melangkah ke depan, atau maju.

Bukankah, dengan demikian, seharusnya orang Kristen progresif adalah orang-orang Kristen yang maju atau ke arah kemajuan? Apa yang salah dengan kemajuan? Yang salah adalah pelabelan dan cap sesat yang dilakukan orang-orang Kristen berdasarkan doktrin-doktrin dan interpretasi iman yang picik dan sempit. Wah...bisa panjang nih kalau mau dijabarakan apa saja penafsiran sempit yang membuat Kristen progresif dicap sesat (lanjut part 2?). Namun, di sini saya perlu menggarisbawahi etimologi kata "progresif" yang berasal dari kata progressus, yang secara harfiah berarti melangkah ke depan. Melangkah. Ini kata kunci yang berkaitan dengan hakikat gereja sebagai peziarah di tengah dunia; pengembara di tengah padang gurun dunia ini. Maka, bisa dibilang bahwa gereja itu progresif, pengembara yang tidak pernah menetap, peziarah yang selalu melangkah.

Jika kita mengaku bahwa gereja adalah kelanjutan Israel, umat Allah, kita pun perlu melihat bahwa Israel pada hakikatnya adalah bangsa pengembara. Leluhur mereka, Abraham, Ishak, dan Yakub adalah para pengembara yang kemudian menetap di Mesir. Dari Mesir, mereka pun mengembara puluhan tahun di padang gurun, mereka terus melangkah, berpindah dan tidak menetap. Bahkan, setelah tiba di tanah perjanjian, ada satu pengakuan yang harus selalu mereka ingat, "Bapaku dahulu seorang Aram, seorang pengembara." Namun, ketika kemudian mereka membentuk sebuah bangsa di tanah perjanjian itu, mereka sangat nyaman dengan kehidupan menetap mereka. Bahkan, mereka membangun identitas berdasarkan tanah itu. Mereka menjadi terikat dan melekat pada tempat, pada kota suci dan Bait Allah. Bagi mereka, Yerusalam, kota suci itu, adalah identitas mereka dan Bait Allah adalah simbol kehadiran dan penyertaan TUHAN, Allah mereka. Jauh dari Yerusalem berarti kehilangan identitas. Jauh dari Bait Allah berarti jauh dari TUHAN sendiri. Oleh karena itulah Allah menyerakkan mereka lagi di berbagai penjuru Kerajaan Asyur, Babel, dan Persia, sebagai orang-orang yang dibuang. Mereka kembali mengalami fase peziarahan dalam pembuangan, agar mereka tidak melupakan identitas mereka sebagai pengembara, yang selalu mencari serta tidak boleh terikat dan melekat. Karena itu, demikianlah pula identitas gereja sebagai kelanjutan Israel. Gereja adalah umat pengembara, komunitas peziarah, yang selalu melangkah, tidak pernah selesai mencari, tidak pernah berhenti meragu.

Pada masa Paska(h) ini, gereja tidak asing dengan tokoh yang dilabeli peragu, Tomas. Tomas Si Peragu, begitulah kita mengenalnya. Ia pada awalnya ragu dengan berita yang disampaikan rekan-rekannya. Ia berpikiran bahwa kebangkitan Yesus hanyalah hoaks belaka. Karena itu ia tidak mau percaya sebelum ia melihat dan menyentuh sendiri. Namun, bukankah semua murid yang lain juga peragu? Mereka telah menyaksikan sediri Yesus yang bangkit hadir di tengah-tengah mereka, tetapi mereka masih ketakutan. Akan tetapi, Tomas, seperti juga murid-murid lain juga terluka. Di tidak mudah percaya karena rasa kehilangan. Ditambah lagi Tomas itu truth seeker, pencari kebenaran. Dia realistis dan perlu bukti. Dari mana kita tahu  Tomas ini realistis dan pencari kebenaran? Dari kisah tentang Tomas dalam beberapa bagian Injil Yohanes. Salah satunya adalah ketika Yesus mengajak para murid kembali ke Yudea, di Betania ke rumah Lazarus. Saat itu, Tomas yang realistis tahu bahwa Yesus sudah ditolak, karena dulu pernah mereka dilempari di Yudea. karena itulah, Tomas berkata, "Marilah kita pergi juga untuk mati bersama-sama dengan Dia." Ya, Tomas berpikir bahwa kembali ke Yudea adalah menuju kematian, karena mereka sudah ditolak di sana. ia realistis. Begitu juga saat Yesus berbicara soal rumah Bapa. Saat itu Yesus berkata, "Ke mana Aku pergi, kamu tahu jalannya." Tomas bertanya, "Tuhan, kami tidak tahu ke mana Engkau pergi; jadi bagaimana kami tahu jalannya?" Tomas berpikir bagaimana mau ke sana, jika tidak tau jalannya. Tomas ini orangnya realistis, pencari kebenaran. Ia tidak terima begitu saja.

Yesus mengenal karakter Tomas yang pencari kebenaran ini. Karena itu, saat Yesus menampakkan diri kepada murid-murid-Nya bersama Tomas, setelah memberi salam, Yesus langsung menembak Tomas, "Taruhlah jarimu di sini dan lihatlah tangan-Ku, ulurkanlah tanganmu dan taruhlah ke lambung-Ku. Jangan engkau tidak percaya lagi, melainkan percayalah." Yesus tahu, sekalipun murid-murid lain pasti bercerita kepada Tomas, dia tidak akan mudah percaya, sebelum melihat sendiri. Yesus tahu, Tomas perlu bukti. Yesus sangat mengenal Tomas yang pencari kebenaran itu. Makanya Dia langsung berkata seperti itu. Seolah-olah mau berkata, "Hei Tomas. Ini Aku sendiri. Masih perlu bukti? Sini cucukkanlah jarimu ke lambung-Ku. Aku tahu, kamu tidak mudah percaya. Sini, supaya kamu percaya." Lalu apakah Tomas mencucukkan jarinya? Tidak. Tidak ada sentuhan fisik, tapi dia langsung berkata, "Ya Tuhanku dan Allahku." Di situ Tomas seolah-olah bilang, "Iya, ini benar Yesus, benar-benar Tuhan dan Allahku yang bangkit. Hanya Dia yang mengenalku sedalam ini." Di situlah pencarian Tomas dan keragu-raguannya itu membawanya pada pengenalan akan Allah yang hidup. Di sini kita melihat iman Tomas adalah iman yang terus mencari, iman yang terus meragu, iman yang tidak pernah amin. Keragu-raguanlah yang membawa Tomas pada pengakuan, “Tuhanku dan Allahku.” Karena itu, tidak ada yang salah dengan keraguan Tomas, atau keraguan kita. Di dalam keraguan itu ada iman yang mencari, iman yang bergumul, iman yang terus merindu, dan yang membawa pada pengenalan akan Kristus.

Tomas adalah gambaran gereja yang terus meragu, terus mencari, terus melangkah, gereja yang tidak pernah finish, tidak pernah amin; Gereja yang menjalani ziarahnya, melangkah dalam embaranya untuk terus mengenal Allah dan menjalani misi-Nya di tengah dunia. Gereja adalah orang-orang yang percaya, tetapi tidak percaya begitu saja. Gereja harus terus-menerus, tanpa henti, berusaha mengenal Allah yang tidak sepenuhnya dapat kita kenali, Allah yang dipenuhi kejutan -- bahkan membuat kita takjub dengan kebesaran-Nya seiring kita terus berproses mengenal-Nya, Allah Sang Misteri. Inilah yang membuat kita menjadi orang-orang Kristen yang tidak pernah selesai, unfinished christian, karena selalu ada misteri Allah yang tidak bisa kita gapai dengan pikiran kita yang terbatas. Allah Sang Misteri tidak bisa kita gapai dan pahami secara utuh. Jika kita merasa bahwa kita sudah mengenal dan memahami Allah seutuhnya, finished, selesai, jangan-jangan yang kita pahami itu bukan Allah. Jika manusia bisa memahami-Nya seutuhnya, buat apa Dia jadi Allah? Kok manusia jadi lebih hebat, bisa memahami Dia seutuhnya? Memahami istri atau suami, atau orang tua atau anak-anak kita seutuhnya sampai sedalamnya saja mungkin mustahil, ini mau memahami Allah seutuhnya. Justru terbalik, Dialah yang mengenal dan memahami kita seutuhnya sampai kedalaman diri kita yang paling dalam.

Sayangnya, ada saja orang Kristen yang merasa sudah sangat mengenal dan memahami Allah melalui doktrin-doktrin yang dibangun manusia. Si paling paham Allah inilah yang sering kali berpikiran sempit dan mengatai sesat orang lain yang mencari dan meragu, yang terus berproses mengenal Allah dengan segala kejutan-Nya. Mereka yang merasa sudah memahami Allah dengan utuh berdasarkan doktrin-doktrin yang dibuat manusia, cenderung memberi label kepada orang lain dengan definisi dan interpretasi yang picik. Ya, seperti label progresif yang sempit tadi, atau liberal, atau konservatif, atau fundamentalis, ortodoks, heterodoks, injili, ekumenis, radikal, dan lain-lain. Label-label ini mengotak-kotakkan orang percaya dan memperlebar jurang pemisah, mereduksi kekayaan pengenalan akan Allah, mencederai identitas gereja sebagai komunitas peziarah.

Dari keresahan saya ini, saya sampai pada refleksi bahwa gereja, juga semua orang Kristen, seharusnya adalah progresif. Progresif dalam arti terus melangkah maju dalam ziarah dan embara di tengah dunia, dalam pencarian dan pengenalan akan Allah. Gereja dan semua orang percaya seharusnya progresif, karena selalu membuka diri pada kejutan-kejutan ilahi dalam pengakuan bahwa Allah adalah Sang Misteri yang tidak bisa seutuhnya kita jangkau. Gereja dan semua persekutuan beriman seharusnya progresif, karena hidup dalam iman yang tidak pernah berhenti meragu dan mencari, iman yang tidak pernah selesai, iman yang tidak pernah amin. (thn)

Comments

Popular posts from this blog

Kasih Allah akan Semesta

(Telah dipublikasi dalam Majalah Berkat Edisi Desember 2018 Tahun XXX nomor 121, dengan judul "Kasih Dinyatakan dalam Perbuatan") Identitas kekristenan sejatinya ialah cinta kasih. Sayangnya, seringkali kasih menjadi sekadar slogan dan kata-kata indah yang tak jarang kehilangan maknanya. Sayangnya, kasih hanya berhenti pada kata, puisi, lagu, atau wacana dan keyakinan saja, tanpa terlihat wujudnya. Seorang psikiater asal Amerika, Karl Menninger, mengatakan “Sebenarnya cinta adalah obat bagi semua penyakit dan penderitaan di dunia. Namun pada kenyataannya, cinta menjadi suatu resep yang sering diberikan tapi jarang digunakan.” Kasih dibicarakan dan dikumandangkan di mimbar-mimbar ibadah dengan segala konsepnya; gereja berteori tentang bagaimana mengasihi orang lain, namun, semua hanya sebatas teori. Kenyataan ini pun yang terjadi di jemaat tujuan surat Yohanes. Kasih sering sekali diucapkan, namun tindakan tidak semanis ucapan. Kenyataan ini yang menjadi dasar bagi kritik

Saya Tidak Tahu

Sahabat Sepanjang Embara oleh Galabara Ketika sahabat saya, Ujun Junaedi, meminta saya menulis refleksi untuk penahbisannya, saya agak mempertanyakan tema yang ia angkat, “Sahabat dalam Embara.” “Yakin embara?” tanya saya kepadanya. Kata embara dalam Bahasa Indonesia berarti pergi ke mana-mana tanpa tujuan dan tempat tinggal tertentu. Dengan demikian, embara bisa diartikan sebagai perjalanan ke mana-mana yang tak tentu arah, perjalanan yang tanpa tujuan. Dengan menggunakan kata “embara” apakah Ujun memahami ziarah kehidupannya sebagai perjalanan yang tanpa tujuan? Tentu ia memiliki alasannya sendiri memilih tema ini, yang ia tuliskan juga dalam refleksi penahbisannya. Saya di sini tidak akan membahas refleksi Ujun lebih jauh. Sila anda baca sendiri refleksinya dan alasannya memilih kata “embara” tersebut. Saya sendiri melihat kata embara dari sudut pandang yang berbeda dari Ujun. Teks Kitab Suci yang diangkat sebagai landasan tema ini adalah kisah Perjalanan ke Emaus. Kisah i