Skip to main content

Saya Tidak Tahu



Sahabat Sepanjang Embara oleh Galabara


Ketika sahabat saya, Ujun Junaedi, meminta saya menulis refleksi untuk penahbisannya, saya agak mempertanyakan tema yang ia angkat, “Sahabat dalam Embara.” “Yakin embara?” tanya saya kepadanya. Kata embara dalam Bahasa Indonesia berarti pergi ke mana-mana tanpa tujuan dan tempat tinggal tertentu. Dengan demikian, embara bisa diartikan sebagai perjalanan ke mana-mana yang tak tentu arah, perjalanan yang tanpa tujuan. Dengan menggunakan kata “embara” apakah Ujun memahami ziarah kehidupannya sebagai perjalanan yang tanpa tujuan? Tentu ia memiliki alasannya sendiri memilih tema ini, yang ia tuliskan juga dalam refleksi penahbisannya. Saya di sini tidak akan membahas refleksi Ujun lebih jauh. Sila anda baca sendiri refleksinya dan alasannya memilih kata “embara” tersebut. Saya sendiri melihat kata embara dari sudut pandang yang berbeda dari Ujun.

Teks Kitab Suci yang diangkat sebagai landasan tema ini adalah kisah Perjalanan ke Emaus. Kisah ini menceritakan Kleopas dan temannya, yang tak tersebutkan namanya itu, pulang ke Kampung Emaus dengan kecewa dan patah hati karena Sang Guru dan Sahabat yang mereka cintai dan banggakan harus mati sebagai seorang kriminal pada perayaan Paskah. Perjalanan ke Emaus sejauh tujuh mil atau sekitar sebelas kilometer itu menjadi sebuah beban yang berat. Dalam perjalanan patah hati itulah Yesus hadir dan berjalan bersama dengan mereka. Dari kisah ini, kebanyakan orang mungkin akan dengan mudah mengasosiasikan “sahabat dalam embara” itu adalah Yesus. Perjalanan patah hati Kleopas dan temannya yang penuh dengan kesedihan dan tanpa semangat itu kemudian dihampiri oleh seorang asing, yang ternyata adalah Yesus sendiri. Kehadiran Yesus membuat hati mereka berkobar-kobar dan kembali bersemangat. Yesus di sini menjadi Sahabat bagi mereka di sepanjang embara mereka karena patah hati. Saya justru merefleksikan Kleopas dan temannya sebagai sahabat bagi satu sama lain di sepanjang embara itu.

Embara: Sebuah Perjalanan tanpa Tujuan
Kembali ke soal embara. Embara adalah perjalanan tanpa tujuan, perjalanan ke mana-mana tanpa arah yang menentu. Jika kita melihat kisah perjalanan ke Emaus, Kleopas dan sahabatnya jelas memiliki tujuan perjalanan, yakni Emaus, tempat asal mereka. Akan tetapi, dengan pengalaman traumatis yang mereka alami selama di Yerusalem, mereka menjadi orang-orang yang tidak lagi memiliki tujuan hidup. Perjalanan pulang mereka memang memiliki tujuan, namun perjalanan hidup dan ziarah spiritual mereka kehilangan arah setelah kematian Yesus di salib. Yesus yang membuat mereka memiliki tujuan hidup dan semangat sekarang sudah tidak lagi bersama-sama mereka; Mati dengan cara yang sadis dan menyakitkan.

Dalam perjalanan ke Emaus mereka menjadi pribadi-pribadi rapuh yang bingung dan tidak tahu apa yang harus mereka lakukan. Mereka kehilangan panutan dan teladan; Mereka kehilangan pengharapan. Mereka pun saat itu tidak tahu bahwa Yesus telah bangkit, bahkan setelah Yesus hadir dan berjalan bersama mereka. Trauma, kesedihan dan keputusasaan yang mereka alami menghalangi mereka untuk mengenali Yesus. Ini terlihat dari percakapan mereka tentang segala sesuatu yang telah terjadi, sampai Yesus hadir dan menegur mereka serta mengingatkan akan janji kebangakitan. Dalam perjalanan dengan tujuan ke Emaus, ziarah spiritualitas mereka menjadi sebuah embara, sebuah perjalanan tanpa tujuan.

Dalam embara spiritualitas yang tanpa arah, dalam ketidaktahuan akan ke mana tujuan mereka setelah kematian Yesus, Kleopas dan teman anonimnya itu menjadi sahabat dalam embara bagi satu sama lain. Dalam kerapuhan mereka saling berbagi, dalam perjalanan tanpa tujuan mereka saling menopang. Saat mereka tidak tahu apa lagi yang akan mereka lakukan ke depannya setelah kehilangan panutan mereka, mereka berjalan bersama sebagai sahabat. Memang bukan sahabat yang menentukan arah, bukan sahabat yang menetapkan langkah untuk mencapai tujuan, melainkan sahabat yang menemani saat kehilangan arah, sahabat yang saling merangkul dan saling menerima saat kehilangan pengharapan.

Sahabat dalam Embara
Dalam kehidupan berjemaat, seringkali memang umat mengharapkan seorang pendeta untuk menjadi gembala yang menuntun mereka dalam ketidaktahuan dan keraguan-raguan. Pendeta dituntut untuk tahu semua hal, tampil sempurna menjadi panutan dan teladan yang menetapkan langkah untuk mencapai tujuan. Dalam ziarah bersama sebagai jemaat, pendeta menjadi sosok pemimpin yang menggembalakan umatnya. Namun, terkadang seorang pendeta pun dapat kehilangan arah dan tidak selalu memiliki jawaban. Ada kalanya seorang pendeta mengalami pergumulan iman, kerapuhan dan keragu-raguan, bahkan mempertanyakan tujuan hidupnya. Ada saat ziarah iman seorang pendeta menjadi embara yang entah ke mana tujuannya, sebagaimana umat pun kadang dipenuhi ketidaktahuan dan kerapuhan.

Menjalani embara artinya berani merangkul ketidaktahuan dan bersedia kehilangan arah. Seorang pendeta membutuhkan keberanian untuk merangkul kerapuhan dirinya sebagai seorang manusia dan melangkah dalam keragu-raguan. Ada kalanya seorang pendeta harus sampai pada titik di mana ia tidak tahu, seperti mengembara tanpa tujuan. Dalam embara spiritualistas itulah, umat menjadi menjadi sahabat yang menerima dan merangkul pendeta untuk bersama-sama menjalani embara itu. Bukan mencoba mencari tahu atau berusaha menentukan arah dan tujuan, melainkan saling mendukung untuk menerima ketidaktahuan dan bergumul bersama. Ada kalanya pendeta juga perlu mengakui bahwa dirinya pun bergumul, meragu, dan kehilangan arah. Ada saat dia mana pendeta dapat berkata “saya tidak tahu”, tanpa perlu sok tahu atau terlihat mantap di hadapan umat. Pada saat itulah umat membuka diri untuk menjadi sahabat dalam embara untuk merangkul si pendeta ketika ia kehilangan arah, tujuan, dan pengharapan. Dalam embara itu, bukan hanya gembala yang mendukung dombanya, tetapi juga domba-domba itu mendukung gembalanya.

Saya mengenal Ujun sebagai pribadi yang cerdas dan supel. Saya tak tahu banyak mengenai kehidupannya berjemaat, tetapi saya dapat menduga bahwa ia adalah sosok gembala yang mampu menjalin relasi baik dengan umatnya; seorang ekstrovert yang selalu tampil bersahabat dan menginspirasi; pribadi brilian yang mempu menjawab banyak pertanyaan. Meskipun demikian, saya juga yakin bahwa sebagai manusia yang rapuh, ada kalanya Ujun pun kehilangan arah. Ia pun bergumul dan meragu. Ia juga bisa mengembara tanpa tujuan dan berkata “saya tidak tahu.” Pada saat itu, Ujun pun membutuhkan keberanian untuk merangkul kerapuhannya dan tidak malu untuk berkata “saya tidak tahu,” dan tidak berusaha sok tahu di hadapan umat. Pada saat itu pula, umat menjadi sahabat dalam embara untuk bergumul bersama, menerima dan merangkul kerapuhan itu dan menjalani ziarah sebagai sahabat yang saling mendukung dan saling menguatkan.

Saya menutup refleksi ini dengan pesan untuk Ujun – bukan untuk sok tahu, melainkan berbagi ketidaktahuan. Jalanilah embaramu, rangkullah kerapuhan dan ketidaktahuanmu, dan berjalanlah bersama sahabat-sahabatmu sekalipun tak tahu ke mana harus melangkah. Sebagaimana Yesus kemudian menghampiri Kleopas dan sahabatanya serta mengembalikan semangat dan membuat hati mereka berkobar-kobar, percayalah bahwa Ia, Sang Sahabat Sejati, pada saatnya akan menghampirimu dan menemanimu dalam ziarahmu, serta mengembalikan semangat dan membuat hatimu berkobar-kobar. Salamat menjalani embara.



(Tulisan ini dibuat dalam rangka penahbisan Ujun Junaedi ke dalam jabatan Pendeta GKI di jemaat GKI Guntur Bandung)

Comments

  1. Terima kasih atas kehadiran kak theo sebagai sahabat seperjalanan.

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

KRISTEN PROGRESIF

Beberapa waktu belakangan, sedang ramai nih di media sosial yang resah soal Kristen Progresif. Saya dibagikan video-video ceramah beberapa "tokoh" Kristen. Katanya Kristen Progresif ini dipropagadakan di Indonesia oleh Brian Siawarta, seorang pastor yang eksis di media sosial. Banyak orang Kristen resah sebab katanya Kristen progresif ini sesat lah, jadi ancaman kekristenan lah, yang tidak percaya Alkitab lah, tidak mengakui Yesus sebagai juruselamat lah, dan lain-lain. Wah... Saya juga jadi ikutan resah nih . Sebenarnya apa sih Kristen Progresif itu? Kalau berdasarkan definisi para "tokoh" Kristen dan orang-orang yang resah, Kristen progresif itu ya aliran sesat. Namun, itu pelabelan yang menurut saya terlalu sempit dan picik. Karena itu, mari kita lihat dulu arti kata "progresif". Menurut KBBI, "progresif" berarti, 1. ke arah kemajuan; 2. berhaluan ke arah perbaikan keadaan sekarang (tentang politk); 3. bertingkat-tingkat naik (tentang aturan

Kasih Allah akan Semesta

(Telah dipublikasi dalam Majalah Berkat Edisi Desember 2018 Tahun XXX nomor 121, dengan judul "Kasih Dinyatakan dalam Perbuatan") Identitas kekristenan sejatinya ialah cinta kasih. Sayangnya, seringkali kasih menjadi sekadar slogan dan kata-kata indah yang tak jarang kehilangan maknanya. Sayangnya, kasih hanya berhenti pada kata, puisi, lagu, atau wacana dan keyakinan saja, tanpa terlihat wujudnya. Seorang psikiater asal Amerika, Karl Menninger, mengatakan “Sebenarnya cinta adalah obat bagi semua penyakit dan penderitaan di dunia. Namun pada kenyataannya, cinta menjadi suatu resep yang sering diberikan tapi jarang digunakan.” Kasih dibicarakan dan dikumandangkan di mimbar-mimbar ibadah dengan segala konsepnya; gereja berteori tentang bagaimana mengasihi orang lain, namun, semua hanya sebatas teori. Kenyataan ini pun yang terjadi di jemaat tujuan surat Yohanes. Kasih sering sekali diucapkan, namun tindakan tidak semanis ucapan. Kenyataan ini yang menjadi dasar bagi kritik