Skip to main content

Visi dan Daya Juang


Ternyata saya punya daya juang juga. Semua orang, bahkan saya sendiri, selama ini berpikir saya ini orang yang santai, tidak mau susah, tidak punya tujuan, cari aman, pragmatis, dan banyak kelemahan lainnya. Ternyata itu semua tidak sepenuhnya benar. Akhirnya saya bias menentukan visi dan berjuang untuk mencapai visi itu. Yah, walaupun hanya simulasi naik gunung. Naik gunung? Ya, untuk pendaki yang bisanya hanya sampai kaki gunung seperti saya, menanjak sampai setidaknya alun-alun adalah pencapaian yang lumayan. Alun-alun? Ya, Alun-alun Suryakencana, Gunung Gede. Kok, sepertinya spektakular sekali? Bukan spektakular. Tapi ini adalah pengalaman saya menemukan visi, dan menyadari pentingnya visi, sekaligus pembuktian bahwa saya punya daya juang untuk mencapai visi, tidak mudah menyerah. Kalau selama ini saya dikenal tidak punya visi dan tidak punya daya juang, mungkin anggapan-anggapan itu tidak sepenuhnya benar.  Sekarang saya menyadari pentingnya visi, dan menyadari juga pengaruh visi terhadap daya juang. Coba kalau kita tidak punya visi, mungkin kita akan sering menyerah di tengah jalan, tanpa tahu arah dan tujuan. Tetapi kalau ada visi, tujuan dan arah kita jelas, dan kita akan berusaha sekuat tenaga mencapai tujuan itu.

Pendaki Gunung (source)

Dalam seminar-seminar motivasi sering dikatakan bahwa ada tiga tipe manusia dengan daya juangnya. Ketiganya dianalogikan dengan pendaki gunung. Tipe pertama adalah pendaki yang menyerah sebelum mendaki. Bahasa kerennya quiter. Ketika melihat gunungnya saja, dia sudah menyerah dan tidak mau mendaki. Ini menyimbolkan orang yang daya juangnya rendah, bahkan tidak punya daya juang. Tipe kedua adalah orang yang mendaki sampai lereng gunung, merasa puas, berhenti di situ, dan memasang kemah. Kalau ini sering dibilang tipe camper. Tipe ketiga adalah orang yang tidak mau menyerah sampai puncak gunung. Walaupun dia sempat beristirahat di lereng gunung, tetapi dia tetap melanjutkan pendakian sampai ke puncak. Ini disebut tipe climber.

Berdasarkan tiga tipe di atas, buat saya, visi memengaruhi daya juang. Bayangkan kalau kita tidak punya visi atau target mencapai puncak, kita hanya menanjak tanpa tahu mau ke mana. Kalau sudah capek atau bosan, berhenti. Atau, karena tidak punya visi atau target, malah sama sekali tidak mau untuk menanjak. Tetapi itu buat saya loh. Ada orang yang memang punya visi puncak, tetapi merasa tidak sanggup mencapainya, menyerah di awal atau puas dengan pencapainya di tengah jalan. Nah, oleh Karen itu visi itu harus realistis. Memiliki target harus yang bias dicapai. Jangan menentukan target yang tidak mungkin dapat kita capai. Mimpi sih boleh, tapi realistis juga. Tentukan mana yang mungkin kita capai dan tidak mungkin kita capai. Ini bukan berarti saya tidak percaya pada kemungkinan. Target yang mustahil itu mungkin saja bias tercapai.

Ada juga orang yang memasang target sangat tinggi supaya kalau tak tercapai pun, yang tercapainya lumayan lah. Kata seorang teman “mimpi itu setinggi langit, biar jatuhnya setinggi pohon.” Bisa juga. Kalau begitu, buat apa bermimpi dan bervisi kalau kita menargetkan jatuh. Jatuh itu bukan target, tetapi risiko. Risiko selalu ada, tetapi tidak ada gunanya berfokus pada risiko. Lebih baik berfokus pada visi, sambil tetap ingat bahwa selalu ada risiko. Kalau pasang target tinggi supaya jatuhnya sedang, buat apa. Lebih baik, buat target tinggi yang sangat mungkin bisa dicapai, daripada pencapaian kita setengah-setengah. Atau target tinggi dengan daya juang yang juga tinggi untuk bisa mencapainya.

Sebenarnya waktu naik gunung kemarin, saya juga tidak terlalu yakin dengan visi atau target itu. Kalau melihat prosesnya, saya agak ragu juga. Sepuluh jam menanjak dengan medan sangat curam, jalan setapak di pinggir jurang, dengan sedikit pos perhentian. Ditambah lagi mendaki malam hari dengan oksigen yang tipis. Untuk orang berparu-paru kasar seperti saya, itu “membunuh.” Tapi, menurut saya itu bukan target yang tidak bisa saya capai. Akhirnya saya dapat membuktikannya. Target memengaruhi daya juang saya. Pokoknya saya harus mencapai target itu, visi itu. Walaupun sempat menyerah di tengah jalan, tetapi saya mau terus melanjutkan perjalanan mencapai visi itu. Ternyata saya punya juga daya juang. Dengan daya juang pantang menyerah, kita pasti bias mencapai target kita, visi kita. Tetapi sebelumnya kita harus punya visi dulu. Kalau tidak, ya percuma.  Bicara soal daya juang pantang menyerah, saya jadi teringat seseorang yang seperti pemadam kebakaran, “pantang pulang sebelum padam.”  Dia tidak mau berhenti sebelum menyelesaikan tergetnya. Dia pekerja keras, pantang menyerah, dan punya daya juang yang tinggi. Saya belajar banyak juga dari dia.

Eh, nggak sengaja menyebut pemadam kebakaran. Ada sesuatu dari pemadam kebakaran yang menarik. Tapi nanti ya.

Comments

Popular posts from this blog

KRISTEN PROGRESIF

Beberapa waktu belakangan, sedang ramai nih di media sosial yang resah soal Kristen Progresif. Saya dibagikan video-video ceramah beberapa "tokoh" Kristen. Katanya Kristen Progresif ini dipropagadakan di Indonesia oleh Brian Siawarta, seorang pastor yang eksis di media sosial. Banyak orang Kristen resah sebab katanya Kristen progresif ini sesat lah, jadi ancaman kekristenan lah, yang tidak percaya Alkitab lah, tidak mengakui Yesus sebagai juruselamat lah, dan lain-lain. Wah... Saya juga jadi ikutan resah nih . Sebenarnya apa sih Kristen Progresif itu? Kalau berdasarkan definisi para "tokoh" Kristen dan orang-orang yang resah, Kristen progresif itu ya aliran sesat. Namun, itu pelabelan yang menurut saya terlalu sempit dan picik. Karena itu, mari kita lihat dulu arti kata "progresif". Menurut KBBI, "progresif" berarti, 1. ke arah kemajuan; 2. berhaluan ke arah perbaikan keadaan sekarang (tentang politk); 3. bertingkat-tingkat naik (tentang aturan

Kasih Allah akan Semesta

(Telah dipublikasi dalam Majalah Berkat Edisi Desember 2018 Tahun XXX nomor 121, dengan judul "Kasih Dinyatakan dalam Perbuatan") Identitas kekristenan sejatinya ialah cinta kasih. Sayangnya, seringkali kasih menjadi sekadar slogan dan kata-kata indah yang tak jarang kehilangan maknanya. Sayangnya, kasih hanya berhenti pada kata, puisi, lagu, atau wacana dan keyakinan saja, tanpa terlihat wujudnya. Seorang psikiater asal Amerika, Karl Menninger, mengatakan “Sebenarnya cinta adalah obat bagi semua penyakit dan penderitaan di dunia. Namun pada kenyataannya, cinta menjadi suatu resep yang sering diberikan tapi jarang digunakan.” Kasih dibicarakan dan dikumandangkan di mimbar-mimbar ibadah dengan segala konsepnya; gereja berteori tentang bagaimana mengasihi orang lain, namun, semua hanya sebatas teori. Kenyataan ini pun yang terjadi di jemaat tujuan surat Yohanes. Kasih sering sekali diucapkan, namun tindakan tidak semanis ucapan. Kenyataan ini yang menjadi dasar bagi kritik

Saya Tidak Tahu

Sahabat Sepanjang Embara oleh Galabara Ketika sahabat saya, Ujun Junaedi, meminta saya menulis refleksi untuk penahbisannya, saya agak mempertanyakan tema yang ia angkat, “Sahabat dalam Embara.” “Yakin embara?” tanya saya kepadanya. Kata embara dalam Bahasa Indonesia berarti pergi ke mana-mana tanpa tujuan dan tempat tinggal tertentu. Dengan demikian, embara bisa diartikan sebagai perjalanan ke mana-mana yang tak tentu arah, perjalanan yang tanpa tujuan. Dengan menggunakan kata “embara” apakah Ujun memahami ziarah kehidupannya sebagai perjalanan yang tanpa tujuan? Tentu ia memiliki alasannya sendiri memilih tema ini, yang ia tuliskan juga dalam refleksi penahbisannya. Saya di sini tidak akan membahas refleksi Ujun lebih jauh. Sila anda baca sendiri refleksinya dan alasannya memilih kata “embara” tersebut. Saya sendiri melihat kata embara dari sudut pandang yang berbeda dari Ujun. Teks Kitab Suci yang diangkat sebagai landasan tema ini adalah kisah Perjalanan ke Emaus. Kisah i