Skip to main content

Mencintai Allah, Mencintai Alam


Beberapa hari yang lalu, saya menonton film yang berjuudul “Sokola Rimba.” Film ini diangkat dari kisah nyata Butet Manurung, seorang guru yang mengajar anak-anak Suku Kubu, yang lebih dikenal dengan Suku Anak Dalam atau Orang Rimba di tepi Sungai Makekal, hutan Taman Nasional Bukit Duabelas, Jambi, yang diperankan oleh Prisia Nasution. Film yang disutradarai oleh Riri Riza ini diangkat dari buku dengan judul yang sama, tulisan Butet berdasarkan pengalamannya mengajar anak-anak rimba. Butet, sang guru, rela meninggalkan kemapanan hidup di kota dan masuk ke dalam hutan Jambi untuk memberikan pendidikan bagi anak-anak rimba, mengajarkan mereka baca-tulis dan berhitung agar mereka tidak mudah ditipu oleh orang-orang luar yang menggusur mereka demi kepentingan membuka lahan kelapa sawit di tanah milik Orang Rimba. Orang-orang yang ingin membuka lahan sawit ini biasanya menggunakan surat perjanjian yang isinya merugikan Orang Rimba. Dalam kondisi yang buta huruf, kelompok Orang Rimba akan menerima begitu saja perjanjian itu, tanpa tahu isinya. Butet mau memperjuangkan pendidikan bagi Orang Rimba agar mereka tidak mudah ditipu dengan cara seperti ini.

Namun demikian, pengorbanan Butet tidak selamanya menuai tanggapan yang baik. Ia juga kadang kala ditolak oleh Orang Rimba karena mengajarkan anak-anak baca-tulis. Ada kelompok-kelompok Orang Rimba yang masih sangat tertutup pada dunia luar, dan tidak mau tradisi mereka dirusak oleh perkembangan dunia luar. Menurut mereka pendidikan adalah kutukan dan merupakan jalan masuk dunia luar untuk merusak adat dan tradisi mereka. Selain itu, mereka berpikir jika anak-anak mereka memperoleh pendidikan, anak-anak itu akan pergi ke kota dan tidak akan kembali lagi ke hutan. Namun Butet pantang menyerah. Dengan usahanya, dibantu teman-temannya, ia berhasil meyakinkan Orang Rimba untuk mau menerima pendidikan sehingga mereka tidak mudah ditipu oleh orang-orang tidak bertanggung jawab yang berniat mengganti hutan mereka dengan kebun kelapa sawit. Tujuan pendidikan bagi anak-anak rimba ini bukan untuk membuat mereka hidup seperti orang kota, tetapi untuk membekali mereka agar tidak mudah ditipu orang luar dan dapat mempertahankan adat dan tradisi mereka.


Butet mengajar anak-anak rimba (sumber)
Jika kita berpikir bahwa Orang Rimba adalah orang-orang bodoh dan terbelakang, maka kita salah besar. Memang benar mereka hidup berpindah-pindah di hutan, pada awalnya tidak mengenal baca-tulis, mereka juga tertutup dengan dunia luar. Tetapi  inilah cara mereka menghargai alam, tempat hidup mereka. Ini menunjukkan rasa syukur dan cinta mereka terhadap alam. Dengan berpindah-pindah tempat, mereka tidak mengeruk habis hasil alam di tempat mereka tinggal, tetapi memberi kesempatan untuk tumbuhan, hewan, air, dan tanah dapat kembali seperti semula. Mereka juga pada awalnya tidak mau mengenal pendidikan, karena menurut mereka jika Orang Rimba sudah bisa baca-tulis dan berhitung, mereka akan meninggalkan hutan dan hidup di kota sehingga tidak ada lagi orang yang merawat hutan. Itu juga yang membuat mereka tertutup dengan dunia luar, orang-orang kota yang hanya bisa marusak alam tanpa bisa mengambalikannya seperti semula.

Orang Rimba sebenarnya jauh lebih cerdas daripada orang kota, karena mereka memikirkan alam jauh ke depan, tidak seperti orang-orang kota yang menebang hutan untuk dijadikan lahan sawit, yang hanya memikirkan keuntungan pada saat itu. Tanaman kelapa sawit memang menghasilkan untung yang besar, namun ia hanya menyedot unsur hara dalam tanah dan tidak bisa mengembalikannya lagi, sehingga lama-kelamaan tanah menjadi rusak dan lingkungan hidup sekitarnya menjadi terganggu. Inilah yang membuat Orang Rimba jauh lebih cerdas daripada orang kota. Mereka tidak bodoh dan terbelakang seperti yang dipikir banyak Orang Indoesia selama ini.

Orang Rimba tidak melihat alam sebagai objek untuk digali dan dikeruk demi memuaskan keinginan manusia, tetapi mereka memandang semua makhluk sebagai sahabat, sesama yang memiliki jiwa dan kehidupan. Mereka akan minta izin kepada pohon jika akan mengambil hasilnya sebagai penghormatan mereka kepada kehidupan alam. Juga ketika berburu binatang, mereka akan mengambil secukupnya untuk dikonsumsi, tidak menimbunnya. Menurut Orang Rimba, alam pasti mecukupkan. Mereka memang hidup dengan mengambil dari alam, tetapi mereka juga memberi kepada alam. Keinginan mereka yang terbesar adalah mempertahankan adat dan tradisi yang melindungi alam, karena itu Orang Rimba agak tertutup dengan dunia luar dan menentang segala eksploitasi alam oleh dunia luar.

Dari Orang Rimba kita belajar untuk mencintai alam kita dengan menghargainya. Cara yang paling dapat kita lakukan adalah tidak membuang sampah sembarangan dan sedapatnya mendaur ulang sampah tersebut, mengurangi penggunaan plastik yang dapat menambah banyak sampah dan merusak tanah, mengurangi sampah yang dapat mencemari air dan tanah, menghemat penggunaan air dan listrik, membuat lubang biopori, tidak menggunakan kendaraan bermotor jika tidak terlalu perlu, menanam tumbuhan yang tidak hanya menyedot unsur hara tanah tetapi juga mengembalikannya, dan banyak hal-hal lain yang dapat dilakukan sebagai bentuk cinta kepada alam. Jangan merasa mengasihi sesama manusia saja sudah cukup. Kasih perlu dinyatakan kepada sesama ciptaan Allah. Sesama ciptaan Allah kan bukan hanya manusia, tetapi juga batu, tanah, air, bambu, pisang, ayam, kambing, awan, matahari, logam, minyak, energi, ikan, bakteri, api, dan semua benda alami yang dapat kita temui. Cinta kepada alam merupakan cinta kepada Allah juga, wajud ketaatan kepada Allah, yang telah memberi kita tugas untuk mengusahakan dan memelihara alam. Orang Rimba dapat menghargai alam karena mereka memandang alam sebagai makhluk yang memiliki jiwa, memiliki kehidupan, sama seperti manusia. Selain itu, alam adalah manifestasi Allah di dunia ini. Allah hadir melalui semua benda dan makhluk yang kita temui. Jadi, dengan mengusahakan kesejahteraan alam, kita juga mewujudkan cinta kasih kita kepada Allah.



(juga dimuat di kolom "Bina Jemaat" Warta Jemaat GKI Cianjur 1 Desember 2013, dengan sedikit perubahan)

Comments

Popular posts from this blog

KRISTEN PROGRESIF

Beberapa waktu belakangan, sedang ramai nih di media sosial yang resah soal Kristen Progresif. Saya dibagikan video-video ceramah beberapa "tokoh" Kristen. Katanya Kristen Progresif ini dipropagadakan di Indonesia oleh Brian Siawarta, seorang pastor yang eksis di media sosial. Banyak orang Kristen resah sebab katanya Kristen progresif ini sesat lah, jadi ancaman kekristenan lah, yang tidak percaya Alkitab lah, tidak mengakui Yesus sebagai juruselamat lah, dan lain-lain. Wah... Saya juga jadi ikutan resah nih . Sebenarnya apa sih Kristen Progresif itu? Kalau berdasarkan definisi para "tokoh" Kristen dan orang-orang yang resah, Kristen progresif itu ya aliran sesat. Namun, itu pelabelan yang menurut saya terlalu sempit dan picik. Karena itu, mari kita lihat dulu arti kata "progresif". Menurut KBBI, "progresif" berarti, 1. ke arah kemajuan; 2. berhaluan ke arah perbaikan keadaan sekarang (tentang politk); 3. bertingkat-tingkat naik (tentang aturan

Kasih Allah akan Semesta

(Telah dipublikasi dalam Majalah Berkat Edisi Desember 2018 Tahun XXX nomor 121, dengan judul "Kasih Dinyatakan dalam Perbuatan") Identitas kekristenan sejatinya ialah cinta kasih. Sayangnya, seringkali kasih menjadi sekadar slogan dan kata-kata indah yang tak jarang kehilangan maknanya. Sayangnya, kasih hanya berhenti pada kata, puisi, lagu, atau wacana dan keyakinan saja, tanpa terlihat wujudnya. Seorang psikiater asal Amerika, Karl Menninger, mengatakan “Sebenarnya cinta adalah obat bagi semua penyakit dan penderitaan di dunia. Namun pada kenyataannya, cinta menjadi suatu resep yang sering diberikan tapi jarang digunakan.” Kasih dibicarakan dan dikumandangkan di mimbar-mimbar ibadah dengan segala konsepnya; gereja berteori tentang bagaimana mengasihi orang lain, namun, semua hanya sebatas teori. Kenyataan ini pun yang terjadi di jemaat tujuan surat Yohanes. Kasih sering sekali diucapkan, namun tindakan tidak semanis ucapan. Kenyataan ini yang menjadi dasar bagi kritik

Saya Tidak Tahu

Sahabat Sepanjang Embara oleh Galabara Ketika sahabat saya, Ujun Junaedi, meminta saya menulis refleksi untuk penahbisannya, saya agak mempertanyakan tema yang ia angkat, “Sahabat dalam Embara.” “Yakin embara?” tanya saya kepadanya. Kata embara dalam Bahasa Indonesia berarti pergi ke mana-mana tanpa tujuan dan tempat tinggal tertentu. Dengan demikian, embara bisa diartikan sebagai perjalanan ke mana-mana yang tak tentu arah, perjalanan yang tanpa tujuan. Dengan menggunakan kata “embara” apakah Ujun memahami ziarah kehidupannya sebagai perjalanan yang tanpa tujuan? Tentu ia memiliki alasannya sendiri memilih tema ini, yang ia tuliskan juga dalam refleksi penahbisannya. Saya di sini tidak akan membahas refleksi Ujun lebih jauh. Sila anda baca sendiri refleksinya dan alasannya memilih kata “embara” tersebut. Saya sendiri melihat kata embara dari sudut pandang yang berbeda dari Ujun. Teks Kitab Suci yang diangkat sebagai landasan tema ini adalah kisah Perjalanan ke Emaus. Kisah i