Skip to main content

Rutinitas Menumpulkan Otak

Mengapa Rutinitas menumpulkan otak? Jangan salahkan rutinitas. Saya sendiri tidak menanggap rutinitas itu kosong dan tak bermakna. Justru rutinitas yang dimaknai itu sangat baik. Jadi rutinitas tidak dilakukan hanya sebagai formalitas. Nah, formalitas itu yang bahaya. Rutinitas ditambah formalitas, maka jadilah kita robot yang diprogram untuk melakukuan sesuatu tanpa perlu bertanya atau mengkritisi.

Lalu, mengapa rutinitas menumpulkan otak? Sebenarnya tidak juga. Rutinitas yang dijalankan menggunakan otak malah mengasah otak kita. Misalnya rutinitas membaca, belajar, berdiskusi. Itu menjadi rutinitas yang mengasah otak kita, menajamkan pikiran kita. Hanya saja, kembali lagi, rutinitas belajar dan membaca sekalipun kalau tidak dimaknai atau direfleksikan akan menjadi formalitas. Kita belajar karena memang sudah seharusnya begitu, tanpa alasan, tanpa motivasi, tanpa tujuan. Ada juga orang yang belajar untuk punya pengetahuan. Tapi setidaknya masih ada tujuannya, daripada belajar karena memang harus belajar. Belajar menjadi formalitas. Jadilah robot akademis.

Lantas, kenapa rutinitas menumpulkan otak? Bisa iya, bisa tidak. Kan sudah dibilang, jangan salahkan rutinitas. Makan, minum, berak, kencing itu rutinitas semua. Kita lakukan secara rutin. Tapi kan itu ada tujuannya, ada maknanya. Kita melakukan itu karena kita berpikir dan kita tahu kalau itu berguna. Ya, berpikirnya tidak sampai harus buat penelitian dan meulis buku. Berpikir di alam bawak sadar mungkin, bahwa kita butuh makan untuk memberi asupan nutrisi kepada seluruh tubuh, termasuk otak. Berka kencing harus kita lakukan supaya sisa-sisa pencernaan itu tidak menjadi racun dalam tubuh kita. Jadi, walaupun rutin, harus tetap ada maknanya, supaya tidak jadi robot.

Terus, kenapa rutinitas menumpulkan otak? Rutinitas yang seperti apa dulu? Kalau rutin mengash kemampuan berpikir kita, tidak mungkin rutinitas menumpulkan otak. Kalau kita rutin membaca dan menulis, tidak mungkin otak kita tumpul. Kecuali mungkin kita rutin membaca, tetapi rutinitas yang lain tidak memungkinkan kita untuk mengeksplorasi atau mengartikulasi apa yang kita baca. Atau malah rutinitas kita itu membuat kita semakin jauh dari perkembangan ilmu pengetahuan, tanpa ada bacaan baru, tanpa ada teman yang bisa diajak diskusi. Tetapi itu masih lumayanlah, daripada terjebak pada formalitas. Justru formalitas itu yang menumpulkan otak, membuat kita kehilangan daya kritis, segala hal, rutinitas, dilakukan tanpa makna, tanpa alasan, tanpa tujuan yang jelas. Kita melakukan sesuatu karena sudah seharunya seperti itu, atau menurut peraturan, atau sesuai prosedur, padahal  tidak ada maknanya. Bahkan tanpa aturan dan prosedur itu pun proses masih bisa berjalan. Justru, yang berbahaya itu formalitas bukan rutinitas.

Nah, itu dari tadi pertanyaannya. Mengapa rutinitas menumpulkan otak? Padahal dari tadi penjelasnya berkata sebaliknya. Malah yang menumpulkan otak dan menghambat daya kritis itu formalitas, bukan rutinitas. Rutinitas ada dimaknai itu baik, asal jangan jatuh pada formalitas, rutinitas tanpa makna yang sudah dari sananya begitu atau harus begitu. Jadi yang menumpulkan otak itu formalitas, bukan rutinitas.

Lalu kenapa judulnya "Rutinitas Menumpulkan Otak?" Ya, mungkin karena itu yang sedang saya rasakan. Saya ada dalam rutinitas pelayanan, pekerjaan, dan banyak macam yang lain. Tapi saya merasa kurang mengasah otak saya dengan rutinitas itu. Kurang membaca, kurang menulis, kurang berdiskusi, bahkan tidak tahu ide-ide atau pemikiran-pemikiran atau teori-teori apa yang sedang berkembang di dunia teologi. Mungkin ada teologi yang baru lagi, entah teologi sampah, tologi sawah, teologi ikan hias, teologi pilpres, dan lain-lain, yang tidak saya tahu. Rasanya jadi seperti otak saya tumpul karena kurang dipakai untuk berpikir, membaca, menulis, berdiskusi, yang mana itu semua adalah rutinitas saya dulu.

Jadi, judulnya ganti? Gak usah lah. Tetap itu saja. Biar yang baca penasaran.

Comments

Popular posts from this blog

KRISTEN PROGRESIF

Beberapa waktu belakangan, sedang ramai nih di media sosial yang resah soal Kristen Progresif. Saya dibagikan video-video ceramah beberapa "tokoh" Kristen. Katanya Kristen Progresif ini dipropagadakan di Indonesia oleh Brian Siawarta, seorang pastor yang eksis di media sosial. Banyak orang Kristen resah sebab katanya Kristen progresif ini sesat lah, jadi ancaman kekristenan lah, yang tidak percaya Alkitab lah, tidak mengakui Yesus sebagai juruselamat lah, dan lain-lain. Wah... Saya juga jadi ikutan resah nih . Sebenarnya apa sih Kristen Progresif itu? Kalau berdasarkan definisi para "tokoh" Kristen dan orang-orang yang resah, Kristen progresif itu ya aliran sesat. Namun, itu pelabelan yang menurut saya terlalu sempit dan picik. Karena itu, mari kita lihat dulu arti kata "progresif". Menurut KBBI, "progresif" berarti, 1. ke arah kemajuan; 2. berhaluan ke arah perbaikan keadaan sekarang (tentang politk); 3. bertingkat-tingkat naik (tentang aturan

Kasih Allah akan Semesta

(Telah dipublikasi dalam Majalah Berkat Edisi Desember 2018 Tahun XXX nomor 121, dengan judul "Kasih Dinyatakan dalam Perbuatan") Identitas kekristenan sejatinya ialah cinta kasih. Sayangnya, seringkali kasih menjadi sekadar slogan dan kata-kata indah yang tak jarang kehilangan maknanya. Sayangnya, kasih hanya berhenti pada kata, puisi, lagu, atau wacana dan keyakinan saja, tanpa terlihat wujudnya. Seorang psikiater asal Amerika, Karl Menninger, mengatakan “Sebenarnya cinta adalah obat bagi semua penyakit dan penderitaan di dunia. Namun pada kenyataannya, cinta menjadi suatu resep yang sering diberikan tapi jarang digunakan.” Kasih dibicarakan dan dikumandangkan di mimbar-mimbar ibadah dengan segala konsepnya; gereja berteori tentang bagaimana mengasihi orang lain, namun, semua hanya sebatas teori. Kenyataan ini pun yang terjadi di jemaat tujuan surat Yohanes. Kasih sering sekali diucapkan, namun tindakan tidak semanis ucapan. Kenyataan ini yang menjadi dasar bagi kritik

Saya Tidak Tahu

Sahabat Sepanjang Embara oleh Galabara Ketika sahabat saya, Ujun Junaedi, meminta saya menulis refleksi untuk penahbisannya, saya agak mempertanyakan tema yang ia angkat, “Sahabat dalam Embara.” “Yakin embara?” tanya saya kepadanya. Kata embara dalam Bahasa Indonesia berarti pergi ke mana-mana tanpa tujuan dan tempat tinggal tertentu. Dengan demikian, embara bisa diartikan sebagai perjalanan ke mana-mana yang tak tentu arah, perjalanan yang tanpa tujuan. Dengan menggunakan kata “embara” apakah Ujun memahami ziarah kehidupannya sebagai perjalanan yang tanpa tujuan? Tentu ia memiliki alasannya sendiri memilih tema ini, yang ia tuliskan juga dalam refleksi penahbisannya. Saya di sini tidak akan membahas refleksi Ujun lebih jauh. Sila anda baca sendiri refleksinya dan alasannya memilih kata “embara” tersebut. Saya sendiri melihat kata embara dari sudut pandang yang berbeda dari Ujun. Teks Kitab Suci yang diangkat sebagai landasan tema ini adalah kisah Perjalanan ke Emaus. Kisah i