Wow... Ternyata sudah setahun lebih blog ini mati
suri. Sudah saatnya membangkitkannya lagi. Saatnya posting lagi.
Sebenarnya tulisan ini sudah saya tulis sekitar hampir dua tahun lalu dan
pernah dimasukkan dalam Kolom Bina Jemaat GKI Cianjur awal tahun 2014, tetapi
masih relevan sampai sekarang. Jadi, sila membaca! (kalau ada yang membaca)
-------------------------------
Suatu hari,
dalam kamp konsentrasi Nazi di Auschwiz pada masa Perang Dunia II, terdapat
tiga tiang gantungan dengan tiga orang terhukum. Salah satu di antaranya adalah
sorang anak kecil. Kepala kamp membacakan vonis. Semua orang memandang anak
itu, ia terlihat pucat dan menggigit bibirnya. Tiga korban sama-sama naik di
kursi yang disediakan, lalu tali gantungan dililitkan pada kepala mereka. Dua
orang dewasa berteriak “hidup kemerdekaan!” tetapi anak itu diam saja.
Orang-orang mulai bertanya-tanya “di mana Tuhan, di mana Dia?” Ketiga kursi
lalu ditumbangkan. Dalam beberapa saat, kedua orang dewasa sudah tidak bernyawa
lagi. Tetapi tali yang ketiga masih bergerak-gerak. Karena tubuhnya ringan,
anak itu masih hidup dan terngatung menderita selama setengah jam. Ia tersiksa
perlahan-lahan sebelum mati. Orang-orang semakin banyak bertanya-tanya “di mana
Tuhan?” Di mana Tuhan? Tuhan ada di sana, dibunuh di tiang gantungan.
Dalam penderitaan, kesusahan, bencana, dan duka
manusia kerap kali mempertanyakan keberadaan Allah. Orang sering bertanya “di
mana Allah?” “mengapa Allah melakukan ini?” “mengapa Allah meninggalkan kita
saat penderitaan?” Penderitaan memang tidak lepas dari kehidupan manusia.
Bahkan, Yesus sendiri dalam pederitaan-Nya di salib, merasakan ditinggalkan
oleh Allah, dengan perkataan-Nya “Eloi, Eloi, lama sabakhtani?” Namun demikian,
dalam penderitaan-Nya itu juga, Ia menyerahkan diri seutuhnya kepada Bapa.
Akan tetapi, sebenarnya Allah sendiri turut menderita
bersama dengan penderitaan manusia. Melalui penderitaan Kristus, Sang Bapa
sendiri turut mendeita. Menurut Jürgen Moltmann, seorang teolog pembebasan
berkebangsaan Jerman, ketika Sang Bapa menyerahkan Sang Anak untuk disalibkan,
saat itu juga Ia menyerahkan diri-Nya sendiri. Sang Anak memikul sengsara
kerena merasa ditinggalkan, dan Sang Bapa menanggung sengsara karena kematian
Anak-Nya. Tidak hanya itu, Sang Anak pun menyerahkan diri-Nya untuk menderita
karena kita. Jadi, Sang Anak bukan menjadi objek penderitaan, tetapi subjek,
karena Ia menyerahkan diri-Nya sendiri. Maka, penderitaan Kritus adalah bentuk
belarasa terhadap penderitaan manusia, dan dalam penderitaan Kritus juga, Allah
Bapa turut menderita. Dalam kerangka berpikir trinitarian, dapat kita katakan
bahwa bukan hanya pribadi Anak yang menderita. Penderitaan Kristus adalah
penderitaan Bapa dan penderitaan Roh Kudus juga. Dan dalam penderitaan Yesusu
itu, Allah ikut berbelasara dalam penderitaan manusia.
Penderitaan merupakan bagian dalam kehidupan manusia.
Karena itu, teologi-teologi Kristen berupaya untuk bergumul soal Allah dan penderitaan.
Teologi Kristen melihat Allah sebagai sebagai Allah yang turut menderita. Jika
orang kaya, makmur, dan berkuasa lebih senag melihat Allah sebagai raja, maka
dalam teologi Asia, Afrika dan Amerika Latin yang bergumul dengan kemiskinan,
penderitaan, ketertindasan Allah dilihat sebagai Allah yang menderita. Orang
yang dalam penderitaan memandang salib sebagai pengharapan. Tuhan yang
menderita pasti berpihak pada yang lemah, tertindas, dan menderita. Oleh karena
itu, banyak teologi kontekstual di Asia, Afrika dan Amerika Latin yang bergumul
dengan kemiskinan, penderitaan, penindasan dan kemanusiaan, seperti Teologi
Pembebasan di Amerika Latin, Teologi Dalit dan Teologi Minjung di Asia, serta Teologi Ubuntu
di Afrika.
Dietrich Bonhoeffer, pendeta yang berjuang melawan
kekejaman Nazi di Jerman, menulis bahwa “Allah membiarkan diri-Nya dibuang ke
salib. Dia lemah dan tanpa kekuasaan dalam dunia, dan itulah satu-satunya cara
agar Ia bisa mendampingi dan menolong kita. Kristus menolong kita bukan oleh
karena kemahakuasaan-Nya, tetapi justru karena kelamahan-Nya dan
penderitaan-Nya. Hanya Allah yang menderita yang bisa menolong manusia yang
menderita.” Bonhoeffer mengemukakan bahwa hanya Allah yang tanpa kekuasaan,
Allah yang lemah dan menderita yang bisa menyelamatkan kita. Jika Ia adalah
raja yang berkuasa, bagaimana Ia bisa merasakan penderitaan kita? Tetapi
justru, karena Ia adalah Allah yang menderita, maka Ia turut menderita dengan
kita, Ia berbelarasa dengan kita.
Jadi sekarang kita dapat memahami bahwa penderitaan,
kesengsaraan, dan kedukaan yang kita alami bukan karena Allah meninggalkan
kita. Penderitaan memang merupakan realitas hidup manusia, tetapi di dalam penderitaan
kita Allah turut menderita bersama kita. Dalam penderitaan manusia, Allah
sendiri menderita. Allah berbelarasa dengan kita. Yesus Kristus menamplkan
sosok Allah yang mengasihi manusia, sekaligus kesediaan menderita bagi umat
yang dikasihinya. Kasih juga perlu disertai dengan kesediaan
menderita. Kasih tanpa kesediaan menderitan mencerminkan egosentrisme, sedangkan
kesediaan menderita tanpa kasih merupakan bentuk masokisme. Belarasa (compassion) adalah kasih yang diwujudkan
dengan kesedian untuk menderita (passion)
bersama (co-) orang yang dikasihi.
Kristus adalah Allah yang berbelarasa, karena dalam Kristus kita melihat perjumpaan
kasih dan kesediaan Allah untuk turut menderita, demi seluruh ciptaan yang
dikasihi-Nya.
Comments
Post a Comment