Skip to main content

Hari Ini Bumi Membutuhkan Kebaikan Kita


Awalanya saya bingung mau menulis apa ketika diminta oleh Tunggul – sahabat saya dari TK yang tidak terpisahkan, namun akhirnya dipisahkan oleh sinode – untuk menulis sebuah artikel tentang lingkungan hidup dalam rangka penahbisannya. Sebenarnya saya merasa minder dengan Tunggul yang memang memiliki minat dan pengalaman dalam isu lingkungan hidup. Namun, saya kemudian saya sadar bahwa setiap pribadi manusia itu unik dan original, dan tidak ada orang lain yang pernah menghidupi kehidupan yang kita hidupi. Jadi, walaupun saya masih minder, tapi saya yakin tulisan saya ini unik.

Identifikasi dan Alienasi
Tunggul memiliki kepedulian yang begitu besar pada masalah lingkungan hidup. Isu-isu krisis lingkungan seperti pencemaran, pemanasan global dan perubahan iklim menjadi perhatiannya sejak masa kuliah di STT Jakarta. Dalam ibadah penahbisannya, bahkan tema yang diangkat masih berkaitan dengan lingkungan hidup, yakni “Identifikasi.” Menurut Arne Naess, filsuf yang dikutipnya, Identifikasi merupakan suatu proses yang terjadi secara spontan dan non-rasional, yang merupakan bentuk dari ikatan emosional yang berawal dari ketertarikan terhadap hakikat lain di luar dirinya. Secara psikologis istilah identifikasi diartikan sebagai perbuatan tidak sadar dengan membayangkan diri sendiri seperti orang lain yang memiliki ikatan emosional.
Dalam praktiknya, proses identifikasi ini terjadi secara spontan dalam masyarakat, yakni masyarakat merasakan adalah sifat-sifat dari alam yang juga dimilikinya. Dengan demikian ia menempatkan dirinya sebagai bagian dari alam. Tunggul menggambarkan identifikasi dengan cara bagaimana ia melihat Gunung Merapi dan Merbabu. Ia melihat Merapi sebagai yang agung, gagah, dan pemarah, jadi dia tidak akan macam-macam dengan Merapi. Ia juga melihat Merbabu sebagai si cantik bergaun sabana nan seksi yang terus menggoda Merapi dan siapa pun yang menatapnya, sehingga ia tidak akan berani bakar-bakar di sana karena akan merusak keindahan gaun Merbabu, juga tidak mengotori Merbabu supaya ia tetap tampak cantik dan memesona. Dalam hal ini, Tunggul melihat dirinya sendiri dalam gunung ini, tetapi bukan dirinya yang empiris melainkan diri yang ingin dimilikinya. Ia melihat apa yang tidak ada pada dirinya di dalam ciptaan lain.
 Kebalikan dari identifikasi adalah alienasi. Naess mengambil contoh dari konteks masyarakat industri di Eropa yang menjadikan teknologi sebagai alat untuk mereduksi segala sesuatu demi kepentingan jangka pendek untuk sebagian orang. Masyarakat melihat alam sebagai sesuatu yang lain dari dirinya, sesuatu di luar dirinya dan dapat dimanfaatkan untuk memenuhi segala kebutuhan dan kepetingannya. Proses alienasi ini yang semakin menjauhkan manusia dengan alam. Sikap ini memicu merosotnya kepedulian terhadap alam, bahkan menimbulkan tindakan-tindakan eksploitatif.

Lukisan Identifikasi, oleh Christian Galabara Alfadio Putra

Orientasi pada Surga dan Kehancuran Bumi
Dalam kekristenan sendiri, saya melihat bahwa alienasi ini diperparah dengan pandangan eskatologis masa kini yang melihat dunia sebagai tempat singgah sementara sebelum menuju surga. Dan karena hidup di dunia hanya persinggahan, manusia menjadi tidak peduli dengan keadaan dunia ini sebab tujuan akhir adalah surga. “Tidak apa-apa hidup di dunia ini susah, dunia ini memang akan hancur, yang penting nanti kita akan hidup bahagia di surga.” Kata-kata yang kelihatan indah ini sebenarnya membentuk spiritualitas orang Krsiten yang semakin mengalienasi dunia. Manusia tidak melihat dirinya sebagai bagian dari dunia dan dunia dipandang sebagai tempat rusak, bobrok dan akan hancur, sehingga kemudian manusia belomba-lomba untuk mempersiapkan diri meninggalkan dunia dan menuju ke surga.
Yang lebih menyedihkan adalah surga kemudian dimaknai secara sempit, yakni hanya sebatas sebuah tempat di mana Allah berkuasa dan tempat orang-orang baik berkumpul setelah mati. Pandangan ini dengan demikian juga mengecilkan Allah sebagai sosok yang terikat pada tempat dan tidak kekal. Padahal surga sendiri bermana luas dan metaforis. Relevansinya justru akan hilang ketika kita memaknainya secara harfiah.  Mengharfiahkan makna surga sebagai suau tempat pun mengaburkan makna yang mendalam dari surga, sehingga dapat menggiring kita pada kesalahpahaman seperti di atas.
Saya tertarik dengan kisah kenaikan Yesus dalam Kisah Para Rasul, yang mengatakan bahwa setelah Yesus terangkat ke surga, para murid terus memandangi langit sampai dua orang berpakaian putih berkata kepada mereka “Mengapakah kamu melihat langit? Yesus yang terangkat ke surga akan datang kembali dengan cara yang sama seperti Dia naik ke surga” (bnd. Kis.:1:10-11). Di sini saya melihat bahwa para murid terpesona dengan surga (Yun. ouranos: langit), sampai mereka lupa dengan tugas yang diberikan Kristus, yakni menjadi saksi-Nya di seluruh bumi, sampai-sampai harus diingatkan oleh dua sosok berjubah putih bahwa Yesus akan datang kembali. Saya memaknai ini sebagi teguran bagi para murid, untuk tidak terpesona dengan surga, tetapi berkaryalah di bumi, karena Kristus akan kembali ke bumi. Tugas utama mereka adalah menghadikan kasih Allah bagi bumi ini, menghadirkan tanda-tanda Kerajaan Allah di bumi ini untuk mempersiapkan kedatangan Kristus.
Inilah yang terjadi dengan beberapa kalangan Kristen. Mereka terpesona dengan yang di langit dan tidak memikirkan bumi, padahal Kristus sendiri akan datang ke bumi. Mereka merindukan Kerajaan Allah yang ada langit, padahal Kerajaan Allah justru harus dinyatakan di bumi ini. Mereka menanti kehancuran dunia ini untuk menuju ke Yerusalem baru di surga, padahal Yerusalem baru itu akan turun dari surga dan Kemah Allah hadir di tengah-tengah bumi (bnd. Why. 21:2-3).  Pandangan yang tertuju kepada surga sebagai tempat akhir membuat orang melupakan dunia, tidak peduli dengan ketidakadilan, kerusakan lingkungan, kekerasan dan berbagai isu yang ada di tengah dunia, sehingga tidak ada usaha untuk menghadirkan damai sejahtera, kasih, keadilan dan kebaikan bagi bumi ini sebagai persiapan untuk kedatangan Kristus kembali.

Allah dan Alam
Orientasi pada surga juga mengakibatkan pemaknaan akan surga sebagai tempat Allah bertakhtan dan dunia terasing dari Allah. Allah digambarkan duduk di takhta yang jauh di langit dan terpisah dari dunia. Pemaknaan ini agak bergeser pandangan Kristen yang melihat Allah sebagai Roh, dan karena itu ia hadir di mana-mana dan sebagai Roh yang menghidupkan segala sesuatu. Sallie McFague mengusulkan untuk memandang Allah sebagai Roh yang menjelma dalam jagad raya (embodied spirit of the universe). Pandangan ini tidak melihat alam sebagai sesuatu yang terpisah dari Allah, tapi merupakan sebuah tubuh dari Roh Ilahi, di mana Allah hadir, berkarya dan menghidupkan. Pandangan ini pun cukup kuat menjadi motif dalam tradisi Kristen-Yahudi, yakni di mana saja kehadiran Allah dimediasi melalui tindakan dan perkataan manusia serta gejala alam. Allah hadir dalam segala sesuatu di alam semesta ini.
Pandangan ini sejalan dengan pandangan tokoh Kristen abad pertengahan, yakni Hildegard von Bingen yang menggambarkan kuasa Allah yang menghidupkan itu dengan konsep viriditas atau greenness. Hildegard memperlihatkan suatu hubungan kesatuan antara Allah dengan ciptaan-Nya. Viriditas adalah kekuatan natural yang memberikan nafas dan kehidupan yang menopang seluruh kehidupan ciptaan. Ia yang menghidupkan alam ini dan isinya, pohon-pohon, sungai, matahari, bulan, bintang, angin dan hujan; yang menjadi nafas seluruh ciptaan. Dalam karya puisi dan musiknya, Hildegard menggambarkan viriditas ini juga sebagai penyataan Allah dalam Krisus yang menubuh dan menafasi segala kehidupan, yang melaluinya Allah mengusahakan sebuah kebun, yakni alam semesta. Melalui viriditas, Allah hadir dan menghidupkan seluruh alam semesta ini.
Dengan pemahaman ini, diharapakan pencarian akan surga dan langit itu bergeser menuju kepedulian akan bumi ini. Kristus yang naik ke surga akan kembali lagi ke bumi, dan tugas kita adalah menghadirkan kasih dan kebaikan bagi bumi ini sampai waktunya Ia kembali lagi. Namun, kita pun perlu memahami bahwa bumi ini adalah bagian dari kekuasaan Allah, Allah hadir dan berkarya serta menghidupkan dunia ini. Ia ada dalam setiap makhluk, dalam setiap nafas, di air, udara, tanah, dan segala makluk. Karena itu jika kita mengaku mengasihi Allah, kasihiliah alam semsta ini, di mana Allah hadir. Kita ada untuk berkarya bagi kebaikan bumi ini kini dan di sini. Tidak perlu kita selalu berorientasi akan langit dan surga, karena Kristus akan menyatakan diri-Nya pada waktunya di bumi ini. Menjadikan alam ini sebagai bagian dari kehidupan kita, bagian dari kesatuan kita dengan Allah, menyadarkan kita untuk selalu berorientasi untuk mengusahakan kebaikan bagi alam ini.
Izinakan saya menutup tulisan ini dengan sebuah kutipan dari sebuah novel karya penulis yang saya kagumi, Ayu Utami, untuk mengingatkan kita mengusahakan kebaikan bagi bumi ini. “Kebenaran biarlah berada di langit. Kelak kita akan mengetahuinya, misteri itu, ketika waktu kita sudah tiba. Tapi hari ini bumi membutuhkan kebaikan kita. Maka marilah berbuat baik kepada bumi. Sebab yang di langit tidak membutuhkan belas kasih kita.”


Bacaan Lebih Lanjut
Joas Adiprasetya, Two paradigms of ascension. Disampaikan dalam pembukaan Asian Ecumenical Council, 2013.
Hildegard of Bingen, Symphonia armonie celestium revelationum. Terj. Barbara Newman, 1998.
Tunggul Barkat Gumelar, Menggali pemikiran eskatologi dalam terang ekosofi kultural berdasarkan kosmologi Jawa. Skripsi Sarjana Sains Teologi STT Jakarta, 2012.
Jan Linn, How to be an open-minded Christian without losing your faith. 2002.
Sallie McFague, The body of God: An ecological theology. 1993.
Henri Nouwen, Bread for journey: A daybook of wisdom and faith. 1996.
Arne Naess, Identification, oneness, wholeness and self-realization. Dalam Enviromental ethics: An introduction with readings. 2000.
Ayu Utami, Bilangan Fu. 2008.


(Tulisan ini dibuat dalam rangka penahbisan Tunggul Barkat Gumelar ke dalam jabatan Pendeta GKI di jemaat GKI Boyolali, 21 Juli 2016)

Comments

Popular posts from this blog

KRISTEN PROGRESIF

Beberapa waktu belakangan, sedang ramai nih di media sosial yang resah soal Kristen Progresif. Saya dibagikan video-video ceramah beberapa "tokoh" Kristen. Katanya Kristen Progresif ini dipropagadakan di Indonesia oleh Brian Siawarta, seorang pastor yang eksis di media sosial. Banyak orang Kristen resah sebab katanya Kristen progresif ini sesat lah, jadi ancaman kekristenan lah, yang tidak percaya Alkitab lah, tidak mengakui Yesus sebagai juruselamat lah, dan lain-lain. Wah... Saya juga jadi ikutan resah nih . Sebenarnya apa sih Kristen Progresif itu? Kalau berdasarkan definisi para "tokoh" Kristen dan orang-orang yang resah, Kristen progresif itu ya aliran sesat. Namun, itu pelabelan yang menurut saya terlalu sempit dan picik. Karena itu, mari kita lihat dulu arti kata "progresif". Menurut KBBI, "progresif" berarti, 1. ke arah kemajuan; 2. berhaluan ke arah perbaikan keadaan sekarang (tentang politk); 3. bertingkat-tingkat naik (tentang aturan

Kasih Allah akan Semesta

(Telah dipublikasi dalam Majalah Berkat Edisi Desember 2018 Tahun XXX nomor 121, dengan judul "Kasih Dinyatakan dalam Perbuatan") Identitas kekristenan sejatinya ialah cinta kasih. Sayangnya, seringkali kasih menjadi sekadar slogan dan kata-kata indah yang tak jarang kehilangan maknanya. Sayangnya, kasih hanya berhenti pada kata, puisi, lagu, atau wacana dan keyakinan saja, tanpa terlihat wujudnya. Seorang psikiater asal Amerika, Karl Menninger, mengatakan “Sebenarnya cinta adalah obat bagi semua penyakit dan penderitaan di dunia. Namun pada kenyataannya, cinta menjadi suatu resep yang sering diberikan tapi jarang digunakan.” Kasih dibicarakan dan dikumandangkan di mimbar-mimbar ibadah dengan segala konsepnya; gereja berteori tentang bagaimana mengasihi orang lain, namun, semua hanya sebatas teori. Kenyataan ini pun yang terjadi di jemaat tujuan surat Yohanes. Kasih sering sekali diucapkan, namun tindakan tidak semanis ucapan. Kenyataan ini yang menjadi dasar bagi kritik

Saya Tidak Tahu

Sahabat Sepanjang Embara oleh Galabara Ketika sahabat saya, Ujun Junaedi, meminta saya menulis refleksi untuk penahbisannya, saya agak mempertanyakan tema yang ia angkat, “Sahabat dalam Embara.” “Yakin embara?” tanya saya kepadanya. Kata embara dalam Bahasa Indonesia berarti pergi ke mana-mana tanpa tujuan dan tempat tinggal tertentu. Dengan demikian, embara bisa diartikan sebagai perjalanan ke mana-mana yang tak tentu arah, perjalanan yang tanpa tujuan. Dengan menggunakan kata “embara” apakah Ujun memahami ziarah kehidupannya sebagai perjalanan yang tanpa tujuan? Tentu ia memiliki alasannya sendiri memilih tema ini, yang ia tuliskan juga dalam refleksi penahbisannya. Saya di sini tidak akan membahas refleksi Ujun lebih jauh. Sila anda baca sendiri refleksinya dan alasannya memilih kata “embara” tersebut. Saya sendiri melihat kata embara dari sudut pandang yang berbeda dari Ujun. Teks Kitab Suci yang diangkat sebagai landasan tema ini adalah kisah Perjalanan ke Emaus. Kisah i