Yang patah tumbuh, yang hilang berganti. Judul sebuah lagu yang
diadopsi menjadi tema penahbisan sahabat saya, Sosam Zebua. Sosam merefleksikan
tema ini sebagai gambaran sebuah proses kehidupan di mana jatuh dan bangkit
datang silih berganti bahkan berkelindan menjadi satu. Ada kalanya hidup
membawa pada kekecewaan, kemarahan, ketakutan dan kejatuhan. Tetapi ada masa di
mana kita bangkit dan berdiri. Inilah yang Sosam maknai dengan satu kata:
pengharapan.
Salib dan Kebangkitan
Berbicara soal pengharapan dalam kekristenan, saya selalu
teringat dengan teolog Protestan asal Jeman yang terkenal dengan teologi
pengharapan, yakni Jürgen Moltmann. Moltmann memberi penekanan pada eskatologi
sebagai doktrin tentang pengharapan kristiani. Ia mengatakan bahwa ekstaologi
tidak tepat diletakkan di akhir, karena dari awal sampai akhir kekristenan
adalah eskatologi, pengharapan, yang melihat serta bergerak ke depan. Konsep
Moltmann mengenai teologi
pengharapan dipengaruhi oleh pengalaman pribadinya ketika menjadi tahanan perang di Belgia dan Skotlandia. Ia melihat penderitaan yang mengerikan dari
para tahanan lain,
juga menyaksikan kehancuran bangsa
Jerman pascaperang. Pengalaman ini mendorongnya untuk melihat penderitaan dari
aspek iman akan Allah yang terlibat dalam hidup manusia, sehingga ia memiliki
pengharapan untuk masa depannya dan bangsanya. Tidak seperti teologi
tradisional yang menggambarkan Allah sebagai yang kekal yang berada pada tempat
yang tinggi dan tak terjangkau, Moltmann melihat Allah berjalan dalam sejarah
manusia dan menarik manusia menuju masa depan. Ia adalah Allah masa depan, yang
mengajarkan untuk berharap. Ia menggunakan gambaran Allah dalam Perjanjian
Lama, yang turut terlibat dalam sejarah manusia. Perjalanan bangsa Israel
melintasi sejarah menegaskan bahwa Allah adalah Allah yang terlibat dalam
perjalanan Israel menuju masa depan.
Teologi pengharapan Moltmann yang melihat keterlibatan Allah
dalam sejarah ini terpusat pada salib dan kebangkitan Kristus. Salib dan kebangkitan
adalah adalah bukti keterlibatan Allah dalam hidup manusia. Salib yang dalah
simbol kehinaan, kehancuran dan kematian diterima oleh Allah dalam Kristus yang
bangkit untuk memberi pengharapan. Namun, salib dan kebangkitan tidak dapat
dipisahkan satu sama lain, karena Kristus yang bangkit adalah juga Kristus yang
tersalib. Salib harus dilahat dari perspektif kebangkitan, yakni salib Kristus adalah akhir dari
penghakiman Allah dan karenanya ciptaan baru dan harapan baru dimulai di dalam
Kristus. Namun, kebangkitan juga perlu dilihat dari perspektif salib, yakni
kebangkitan tidak serta merta menggantikan salib, justru kebangkitan menjadi
signifikan dan relevan karena salib. Salib dan kebangkitan adalah dua sisi keterlibatan
Allah dalam hidup manusia, yang artinya Allah hadir bersama kita dalam segala
waktu dan tempat. Ia Allah yang turut menderita bersama kita, tetapi juga yang
mengangkat kita. Di sini saya melihat salib dan kebangkitan sebagi satu
kesatuan yang memiliki dua dimensi, yakni maut dan pengharapan. Pengharapan
hanya akan ada jika ada pengalaman maut, namun pengalaman akan maut diangkat
dalam pengharapan masa depan.
Salib: Trauma dan Pengharapan
Senada dengan Moltmann, Serene Jones, seorang teolog feminis Amerika,
memandang pengalaman salib sebagai pengalaman yang traumatis sekaligus
berpengharapan. Jones menggunakan narasi Injil Markus teentang kebangkitan
untuk memberi kerangka baru pada pengalaman traumatis. Menurutnya, Injil Markus
yang sebenarnya berakhir di pasal 16 ayat 8 memang sengaja dibiarkan
menggantung dengan akhir yang penuuh ketakutan dan teror. Perempuan-perempuan
di sekitar Yesus yang menyaksikan penyaliban dan kematian Yesus sebenarnya
mengalami rasa takut dan trauma setelah melihat kubur melihat kubur Yesus yang
kosong sehingga mereka hanya bisa berlari dan diam. Namun, menurut Jones,
justru dalam diam itu para perempuan ini medapatkan kekuatan, mereka merasakan
bahwa mereka tidak sendirian ketika mengalami ketakutan dan trauma.Trauma dan
ketakutan itu dikelola menjadi sebuah harapan pada apa yang mereka takuti
sebelumnya, yakni salib.
Dalam teror, trauma, dan ketakutan perempuan-perempuan ini hanya
bisa diam. Salib dan kubur Yesus yang kosong berkecamuk dalam pikiran mereka.
Dalam keadaan diam itu terjadilah dialog antara apa yang mereka dengar, lihat
dan rasakan. Dialog dalam batin mereka itu kemudian memunculkan sebuah
keberanian dan pengharapan untuk menyampaikan berita kebangkitan Yesus kepada
murid-murid yang lain. Di
sini salib menjadi simbol pengalaman traumatis atas hilangnya kehidupan, tetapi
sekaligus menjadi simbol pengharapan atas sebuah kehidupan baru.
James Cone, teolog pembebasan kulit hitam yang mengembangkan
teologi hitam, merefleksikan salib Kristus ke dalam pengalaman penindasan yang
dialami oleh orang-orang kulit hitam di Amerika pada era 1880-1940an.
Orang-orang kulit hitam pada masa itu terancam dengan kematian pada pohon
gantungan (lynching tree). Banyak
orang kulit hitam, yang merupakan budak orang kulit putih, dihukum mati dengan
cara digantung di pohon tanpa diadakan pengadilan terlebih dulu. Mereka yang
dituduh bersalah, sekalipun kebanyakan tuduhan itu tidak benar, menerima
perlakukan tidak adil, yakni langsung digantung tanpa melalui proses
pengadilan. Hal ini dilakukan oleh
orang kulit putih untuk menunjukan keunggulan mereka pada saat itu kepada
orang-orang kulit hitam.
Dari pengalaman ini,
Cone menghubungkan orang-orang kulit hitam yang mendapat perlakuan tidak adil
dengan salib Kristus.
Cone memandang salib Kristus seperti pohon gantungan yang digunakan untuk
menggantung orang kulit hitam. Layaknya orang kulit hitam yang digantung di
pohon, Yesus pun digantung di salib. Ia dihina dan dianggap kotor, ia dipertontonkan di tengah publik dan
direndahkan. Yesus dan orang kulit hitam yang sama-sama menderita. Salib
menjadi simbol bahwa Yesus yang menderita di salib juga merasakan penderitaan
orang kulita hitam Amerika yang menderita di pohon gantungan. Iman pada Allah
dalam Kristus yang tersalib memberikan kekuatan dan keberanian untuk menanggung
penderitaan serta kemampuan untuk mencari makna dan pengharapan dalam situasi
yang berat. Kematian dan penderitaan bukanlah akhir, tetapi makna kematian
bermanifestasi dalam kebangkitan Kristus. Di sini, salib tidak hanya menawarkan
penderitaan, tetapi salib juga menawarkan pengharapan, sebuah tempat untuk
rekonsiliasi., tempat untuk melihat ke belakang bersama dan meratap bersama,
sebagaimana Kristus meratap pada salib. Cone menyimpulkan, tidak ada jurang
antara orang kulit hitan dan kulit putih yang terlalu lebar untuk diatasi,
karena keindahah lebih abadi daripada kebrutalan.
Pengharapan pada Salib
Pengalaman dan penggambaran salib dan
pengharapan dari beberapa teolog di atas memperlihatkan bahwa salib bukan hanya
bermakna kematian dan penderitaan, tetapi juga bermakna pengharapan. Malalui
salib dan penderitaan Kristus, umat yang tertekan dan putus asa karena
penderitaan menerima pengharapan bahwa mereka tidak sendiri dalam menjalani
penderitaan itu. Yesus yang tersalib juga merasakan apa yang mereka rasakan.
Yesus juga menanggung penderitaan yang sama, bahkan lebih besar. Namun, salib
juga menawarkan kebangkitan. Salib dan kematian bukan akhir, justru salib
adalah jalan yang harus dilalui untuk menuju kebangkitan. Salib akan menjadi
kesia-siaan tanpa kebangkitan, namun kebangkitan juga menjadi tidak relevan
tanpa salib.
Dalam kehidupan manusia ada fase di mana
kita mengalami kejatuhan, kekecewaan, kehancuran, trauma dan keputusasaan. Namun,
memadang pada salib Kristus, kita mendapat pengharapan bahwa penderitaan dan
salib tidak pernah hadir tanpa kebangkitan. Kejatuhan dan trauma tidak pernah
ada tanpa pengharapan akan masa depan. Salib bukan soal benda bersilang yang
dipakai untuk menggantung terhukum, tetapi simbol dari peristiwa kematian dan
kebangkitan Kristus, karena pengharapan Kristiani tidak terletak pada benda
atau pemikiran, tetapi pada Yesus Kristus sendiri, sang Firman yang menjadi
daging, yang tersalib dan bangkit.
Kembali ke refleksi Sosam soal “Yang patah
tumbuh, yang hilang berganti.” Pengalaman jatuh dan tersungkur di tanah,
sebagaimana terdapat pada bait awal lagu tersebut, bukanlah akhir. Jatuh dan
tersungkur selalu diikuti dengan berdiri dan bangkit. Selalu ada yang tumbuh
dari yang patah, ada yang berganti dari yang hilang, ada pemulihan dari
kehancuran, dan ada makna dari kesia-siaan. Salib dan kebangkitan Kristus menunjukkan bahwa yang
patah akan tumbuh, dan yang hilang akan berganti. Pengalaman trauma dan
ketakutan yang dialami dalam teror kematian di salib tidak lantas mematikan
pengharapan. Justru dari situ timbul pengharapan, dan pengharapan menjadi
kekuatan dan dasar yang kuat bagi karya Kristen di dalam dunia. Pengharapan
menjadi pendorong bagi rekonsiliasi dari trauma kekerasan dan penindasan.
Pengharapan menjadi kekuatan bagi murid Kristus melanjutkan kehidupan dan
menjadi saksi atas karya kehidupan, kematian dan kebangkitan Kristus bagi
dunia. Pengharapan menjadi dasar bagi setiap orang percaya untuk memperjuangkan
keadilan, perdamain dan keutuhan ciptaan di tengah dunia dalam rangka
pengharapan akan Kerajaan Allah.
Bacaan Lebih Lanjut
James
H. Cone, The Cross and Lynching Tree.
2011.
Serene
Jones, Trauma and Grace: Theology in a
Ruptured World. 2009.
Daniel
L. Migliore, Faith Seeking Understanding:
An Introduction to Christian Theology. 1991.
Jürgen
Moltmann, Theology of Hope. 1964.
Jürgen
Moltmann, The Crucified God. 1972.
Sosam
E. Zebua, Perempuan, Tubuh, dan Seks:
Kajian Teologis atas Narasi Perempuan Pekerja Seks. 2012
(Tulisan ini dibuat dalam rangka penahbisan Sosam Enidampra Zebua ke dalam jabatan Pendeta GKI di jemaat GKI Rengasdengklok, 26 September 2016)
Comments
Post a Comment