Skip to main content

Ketika Allah Merengkuh Semesta

Transfigurasi dan Mandorla

Sahabat saya, Christian Galabara Alfadio Putra, atau yang akrab saya sapa Titi, merumuskan tema penahbisannya, “Membumi Raga, Menjejak Asa”; kata-kata yang cukup puitis dan sepertinya sulit dipahami jika hanya dibaca sekilas. Akan tetapi, di balik tema yang puitis itu terdapat refleksi yang sesuai temanya, “membumi.” Saya mengenal Titi sebagai seorang yang membumi. Gaya hidupnya sederhana, bahkan cenderung “tak terawat”, dan ia memiliki perhatian yang besar tehadap perjuangan untuk keadilan dan pembebasan bagi yang tertindas. Melalui tema “Membumi Raga, Menjejak Asa”, ia merefleksikan peristiwa transfigurasi sebagai sebuah bagian dari karya keselamatan Allah yang mulia di dalam Kristus yang merangkul seluruh ciptaan, Allah yang membumi raga dan menghadirkan asa bagi yang hina dan tersisih.

Jika merefleksikan transfigirasi, gambaran yang selalu hadir dalam pikiran saya adalah mandorla. Apa itu mandorla? Mandorla adalah kata dalam Bahasa Italia yang berarti badam atau almon. Apa hubungan kacang badam dengan transfigurasi? Dalam ikon-ikon transfigurasi, kita dapat melihat gambar berbentuk bulat lonjong di belakang Yesus yang berbentuk seperti kacang badam atau almon. Bentuk itu disebut mandorla. John Badlock, seorang penulis tentang simbolisme dan mitologi agama, menyatakan bahwa dalam berbagai tradisi, mandorla merupakan irisan dari dua lingkaran. Kedua lingkaran itu biasanya merupakan simbol dari dua hal yang bertolak belakang; yang spiritual dan yang material, langit dan bumi, yang ilahi dan insani. Dalam kekristenan, mandorla yang juga dikenal dengan nama vesica piscis, dimaknai sebagai interaksi dan kesalingterkaitan antara yang ilahi dan yang insani. Keilahian dan kemanusiaan itu betemu di dalam diri Yesus Kristus. Karena itu dalam ikon-ikon transfigurasi, mandorla selalu hadir pada gambar diri Yesus.

 

Mandorla pada ikon Transfigurasi

Yang unik dari mandorla, tidak selalu ia hadir dalam semua ikon. Ia hanya terdapat dalam ikon Transfigurasi dan Kebangkitan Kristus, serta ikon Kristus dalam Kemuliaan (Maiestas Domini). Ikon-ikon ini memperlihatkan dengan jelas bagaimana kemuliaan Allah hadir dalam kehinaan manusia di dalam diri Yesus Kristus. Transfigurasi dan kebangkitan digambarkan sebagai peristiwa di mana kefanaan ciptaan diangkat ke dalam kemuliaan ilahi melalui pribadi Yesus Kristus. Allah yang kekal itu merengkuh ciptaan dengan segala keterbatasan dan penderitaannya.

 

Rengkuhan Allah dalam Inkarnasi

Dalam diri Yesus Kristuslah, Allah yang tak terjangkau dalam keilahian-Nya itu menjangkau ciptaan-Nya. Tindakan ilahi ini kita kenal dengan nama inkarnasi, yakni Allah menjadi ciptaan. Dalam kerangka berpikir trinitarian, Kristus adalah Allah sendiri yang memberi diri-Nya; Allah yang berinkarnasi untuk menyatakan cinta-Nya kepada dunia. Tindakan cinta kasih Allah itu adalah Allah yang tak terbatas dan tak terjangkau oleh ciptaan itu menjadikan diri-Nya terbatas untuk menjangkau dan merengkuh seluruh ciptaan dalam persekutuan cinta kasih-Nya yang kekal. Allah yang kekal menjadi manusia yang fana untuk merangkul kefanaan ciptaan-Nya dalam persekutuan dengan-Nya melalui pribadi Kristus. Namun demikian, konsep inkarnasi Allah dalam Kristus ini seakan-akan bermasalah jika melihat realitas dunia dalam segala keterbatasan dan penderitaannya. Ada banyak pergumulan yang dihadapi dunia ini; wabah penyakit, bencana alam, kelaparan, peperangan, penindasan, serta ketidakadilan. Mengapa demikian?

Yesus Kristus adalah seorang manusia laki-laki Yahudi. Bagaimana caranya Allah yang menjadi manusia lelaki Yahudi itu dapat merengkuh seluruh ciptaan dengan segala kompleksitasnya? Bagaimana seorang manusia laki-laki Yahudi dapat merepresentasikan semesta? Bagaimana Allah dalam diri seorang laki-laki merengkuh perempuan yang seringkali menjadi objek ketidakadilan, penindasan dan diskriminasi; menjadi korban kekerasan dan pelecehan serta dipinggirkan oleh masyarakat yang menjunjung tinggi peran gender? Bagaimana Allah merengkuh anak-anak yang juga sering menjadi korban kekerasan dan ekspoitasi; yang dianggap tidak berdaya serta sering dibungkam oleh orang-orang yang mengaku diri dewasa? Bagaimana Allah merengkuh pribadi-pribadi dengan disabilitas yang hidupnya terbatas dan dibatasi oleh masyarakat yang tak acuh terhadap keberadaan mereka? Bagaimana Allah yang berinkarnasi menjadi bagian dari bangsa tertentu itu merengkuh korban diskriminasi rasial yang disingkirkan karena merupakan kelompok kecil masyarakat atau karena berbeda warna kulit? Bagaimana Allah yang menjadi manusia itu merengkuh bumi, air, tumbuhan, hewan, yang dirusak oleh manusia, yang tercemar karena pemanasa global, yang semakin punah karena eksploitasi manusia? Bagaimana seorang manusia laki-laki Yahudi dapat merepresentasikan itu semua?

Jika kita berfokus pada diri Yesus sebagai manusia laki-laki Yahudi saja, maka pertanyaan-pertanyaan itu tidak akan pernah terjawab. Rengkuhan Allah itu justru ada dalam inkarnasi itu sendiri. Inkarnasi berasal dari bahasa Latin, in carne, yang berarti “menjadi daging”, bukan “menjadi manusia” apalagi manusia laki-laki. Penginjil Yohanes menulis dalam Bahasa Yunani, “kai ho logos sarx egeneto(Yoh. 1:14), yang diterjemahkan LAI secara kurang tepat menjadi “Firman itu telah menjadi manusia.” Yang lebih tepat adalah “Firman itu telah menjadi daging.” Terjemahan dari kata sarx adalah daging, bukan manusia. Frasa “menjadi daging” (sarx egeneto) di sini sangat penting, karena ia merepresentasikan berbagai unsur dalam semesta.

Sarx adalah kata benda feminin. Di sini jelas bahwa jika Allah menjadi sarx, bukan hanya soal laki-laki, melainkan perempuan pun direngkuh. Selain itu, dengan menjadi sarx, Allah tidak hanya hadir sebagai manusia, tetapi Ia menjadi bagian dari semua yang lain, baik manusia (laki-laki, perempuan, anak-anak, pribadi dengan disabilitas, orang baik, penjahat), hewan dan tumbuhan, bumi dan segala isinya, berbagai bangsa dan ras. Di sini inkarnasi Allah adalah rengkuhan terhadap materi alam semesta, bukan hanya manusia. Teolog Denmark yang terkenal dengan konsep deep incarnation, Niels Gregersen mengatakan jika inkarnasi adalah Allah menjadi daging, maka inkarnasi tidak hanya soal Yesus yang menjadi seorang manusia laki-laki atau hanya soal kemanusiaan yang terpisah dari alam semesta. Melalui inkarnasi di dalam Yesus Kristus, Allah menjadi materi (daging) yang merupakan bagian dari jalinan keterhubungan dari seluruh alam semesta. Menurut Gregersen, Yesus menjadi manusia dan dalam kemanusiaan-Nya Ia pun menjadi materi. Tubuh manusia-Nya, seperti manusia-manusia lain, tersusun dari partikel-partikel materi yang juga terjalin menyusun alam semesta.

Dengan demikian, melalui inkarnasi, Allah merengkuh semesta dalama segala kompleksitas, keterbatasan, bahkan penderitaannya. Melalui inkarnasi, Allah pun merengkuh perempuan dan anak-anak yang menjadi korban kekerasan, diskriminasi, ekspliotasi. Ia merengkuh pribadi-pribadi dengan disabilitas yang dibatasi oleh masyarakat yang apatis. Ia merengkuh mereka yang menjadi korban diskriminasi rasial dan pemusnahan etnis. Ia merengkuh bumi dan semesta yang dieksploitasi, dicemari, dan dirusak demi kepentingan manusia-manusia serakah. Ia merengkuh semseta karena Ia mencintai ciptaan-Nya. Allah berinkarnasi, membumi raga dan merengkuh semesta.

 

Membumi Raga, Merengkuh Semesta

Tindakan Allah yang membumi raga dan merengkuh semesta menjadi teladan dalam pelayanan bersama dalam kehidupan berjemaat. Allah yang kekal dan tak terjangkau mengosongkan diri-Nya untuk menjangkau semesta dalam kefanaan dan kehinaan. Jika Allah merangkul kefanaan dan kehinaan semesta menjadi bagian dari diri-Nya, gereja pun sebagai rekan sekerja Allah perlu juga merengkuh semesta dalam karyanya di tengah dunia. Gereja harus menjadi tempat yang terbuka dan ramah terhadap perempuan, anak-anak, pribadi dengan disabilitas. Gereja harus membuka diri terhadap orang-orang dari berbagai latar belakang, etnis, suku, kebudayaan, status sosial, bahkan paradigma berpikir. Gereja pun harus terlibat dalam karya keselamatan Allah yang merengkuh semseta, berkarya bagi pemulihan lingkungan hidup dan keutuhan ciptaan.

GKJ Taman Murni yang akan menahbiskan Titi sebagai pendeta, rasanya perlu bersyukur dengan kehadiran seorang Titi. Titi merefleksikan pelayanan seorang pendeta sebagai bagian dari karya gereja yang membumi. Para pemimpin gereja dilihat sebagai rekan yang setara dengan umat. Titi menggambarkan gereja sebagai persekutuan yang berpartisipasi dalam misi Allah untuk menghadirkan karya keselamatan bagi sesama, bagi manusia dari segala suku bangsa, latar belakang, jenis kelamin, bahkan bagi lingkungan hidup dan semesta, seluruh ciptaan Allah. Saya berharap Titi dapat mengejawantahkannya dalam karyanya sebagai pendeta di GKJ Taman Murni. Namun demikian, menjadi gereja yang menyatakan cinta Allah bagi semesta bukan hanya tanggung jawab seorang pendeta. Pendeta juga perlu membumi raga, merengkuh dan merangkul rekan sepelayanan dan umat untuk terlibat dalam karya menghadirkan cinta dan rahmat Allah bagi semesta.

Saya menutup refleksi ini dengan pesan bagi sahabat saya, Titi. Tetaplah membumi, tetaplah merangkul semua pihak, tetaplah berjuang bagi keadilan dan pembebasan. Sebagaimana Allah yang kekal merengkuh kefanaan dan menjadi bagian dari semesta, jadilah bagian dari jemaat Tuhan untuk bersama berkarya merengkuh semesta ke dalam persekutuan cinta kasih Allah Bapa, Anak, dan Roh Kudus.


(Tulisan ini dibuat dalam rangka penahbisan Christian Galabara Alfadio Putra ke dalam jabatan pendeta di jemaat GKJ Taman Murni Sragen)


Comments

Popular posts from this blog

KRISTEN PROGRESIF

Beberapa waktu belakangan, sedang ramai nih di media sosial yang resah soal Kristen Progresif. Saya dibagikan video-video ceramah beberapa "tokoh" Kristen. Katanya Kristen Progresif ini dipropagadakan di Indonesia oleh Brian Siawarta, seorang pastor yang eksis di media sosial. Banyak orang Kristen resah sebab katanya Kristen progresif ini sesat lah, jadi ancaman kekristenan lah, yang tidak percaya Alkitab lah, tidak mengakui Yesus sebagai juruselamat lah, dan lain-lain. Wah... Saya juga jadi ikutan resah nih . Sebenarnya apa sih Kristen Progresif itu? Kalau berdasarkan definisi para "tokoh" Kristen dan orang-orang yang resah, Kristen progresif itu ya aliran sesat. Namun, itu pelabelan yang menurut saya terlalu sempit dan picik. Karena itu, mari kita lihat dulu arti kata "progresif". Menurut KBBI, "progresif" berarti, 1. ke arah kemajuan; 2. berhaluan ke arah perbaikan keadaan sekarang (tentang politk); 3. bertingkat-tingkat naik (tentang aturan

Kasih Allah akan Semesta

(Telah dipublikasi dalam Majalah Berkat Edisi Desember 2018 Tahun XXX nomor 121, dengan judul "Kasih Dinyatakan dalam Perbuatan") Identitas kekristenan sejatinya ialah cinta kasih. Sayangnya, seringkali kasih menjadi sekadar slogan dan kata-kata indah yang tak jarang kehilangan maknanya. Sayangnya, kasih hanya berhenti pada kata, puisi, lagu, atau wacana dan keyakinan saja, tanpa terlihat wujudnya. Seorang psikiater asal Amerika, Karl Menninger, mengatakan “Sebenarnya cinta adalah obat bagi semua penyakit dan penderitaan di dunia. Namun pada kenyataannya, cinta menjadi suatu resep yang sering diberikan tapi jarang digunakan.” Kasih dibicarakan dan dikumandangkan di mimbar-mimbar ibadah dengan segala konsepnya; gereja berteori tentang bagaimana mengasihi orang lain, namun, semua hanya sebatas teori. Kenyataan ini pun yang terjadi di jemaat tujuan surat Yohanes. Kasih sering sekali diucapkan, namun tindakan tidak semanis ucapan. Kenyataan ini yang menjadi dasar bagi kritik

Saya Tidak Tahu

Sahabat Sepanjang Embara oleh Galabara Ketika sahabat saya, Ujun Junaedi, meminta saya menulis refleksi untuk penahbisannya, saya agak mempertanyakan tema yang ia angkat, “Sahabat dalam Embara.” “Yakin embara?” tanya saya kepadanya. Kata embara dalam Bahasa Indonesia berarti pergi ke mana-mana tanpa tujuan dan tempat tinggal tertentu. Dengan demikian, embara bisa diartikan sebagai perjalanan ke mana-mana yang tak tentu arah, perjalanan yang tanpa tujuan. Dengan menggunakan kata “embara” apakah Ujun memahami ziarah kehidupannya sebagai perjalanan yang tanpa tujuan? Tentu ia memiliki alasannya sendiri memilih tema ini, yang ia tuliskan juga dalam refleksi penahbisannya. Saya di sini tidak akan membahas refleksi Ujun lebih jauh. Sila anda baca sendiri refleksinya dan alasannya memilih kata “embara” tersebut. Saya sendiri melihat kata embara dari sudut pandang yang berbeda dari Ujun. Teks Kitab Suci yang diangkat sebagai landasan tema ini adalah kisah Perjalanan ke Emaus. Kisah i