Saya sengaja membuat judul tulisan ini dengan pertanyaan, “Apakah engkau mengasihi Aku?” karena sahabat saya, Firmanda Tri Permana, memilih tema penahbisannya, “Engkau tahu aku mengasihi-Mu.” Saya percaya bahwa Nanda memilih tema ini sebagai jawabannya atas panggilan Tuhan untuk menggembalakan domba-domba-Nya, sebagaimana Petrus menjawab pertanyaan Yesus dalam percakapan Petrus dan Yesus setelah kebangkitan dan sebelum kenaikan-Nya ke surga. Percapakan ini merupakan sebuah bentuk pengutusan bagi Petrus untuk melanjutkan karya Yesus di dunia.
Petrus dikenal sebagai tokoh yang impulsif, cenderung
bertindak atau berbicara sebelum berpikir. Ia juga pernah dengan gegabah memotong
telinga Malkhus, prajurit Romawi yang hendak menagkap Yesus; bahkan sebelum
percakapan dengan Yesus, ia yang berada di perahu bergegas berpakaian dan
melompat ke danau untuk menemui Yesus di pantai. Yang menarik, sementara kebanyakan orang akan
melepaskan pakaiannya saat melompat ke air,
Petrus malah mengenakan bajunya. Tindakan
ini adalah simbol yang mengingatkan kita akan Adam dan Hawa yang bersembunyi
dari Allah setelah menyadari bahwa mereka telanjang (bnd. Kej. 3:10). Petrus
memakai pakaiannya menandakan dia “bersembunyi” karena merasa berdosa telah
menyangkal Yesus. Ini juga merupakan bentuk kesembronoan Petrus yang lain. Dalam
perjamuan terakhir ia dengan gagah menyatakan akan memberikan nyawanya bagi Sang Guru, tetapi ketika terancam ia menyangkal identitasnya sebagai seorang
murid.
Berdamai
dengan Diri Sendiri
Percakapan Yesus dan Petrus seolah menjadi sebuah
rekonsiliasi, di mana Petrus bertobat atas kesalahannya terhadap Yesus pada
masa lalu, atas tindakannya yang gegabah dan sembrono. Hanya saja, teks ini
tidak mengisahkan Yesus mengampuni Petrus. Petrus tidak melakukan sesuatu yang
butuh pengampunan dari Yesus. Yang seharusnya mengampuni Petrus adalah dirinya
sendiri. Lebih tepatnya, Petrus harus berdamai dengan dirinya sendiri, dengan
mengakui jati dirinya. Itulah mengapa Yesus menyapanya dengan nama aslinya, yakni Simon anak
Yohanes, bukan Petrus atau Kefas, nama yang Yesus berikan padanya. Ini menunjukkan
bahwa Yesus menyapa Simon Petrus sebagaimana ada dirinya, juga untuk mengingatkan Petrus
akan jati dirinya.
Jika kita membaca lagi teks Injil Yohanes tentang
penyangkalan Petrus, kita akan menemukan bahwa sesungguhnya Petrus sedang
menyangkali jati dirinya. Ia tidak menyangkal Yesus, tetapi menyangkal dirinya
sendiri. Ketika orang-orang yang hadir dalam pengadilan di hadapan Hanas mengenali
Petrus, mereka bertanya, “bukankah engkau juga seorang murid-Nya” dan “bukankah
engkau juga murid orang ini”, yang mereka pertanyakan adalah identitas Petrus
sebagai murid Yesus. Di sinilah kemudian Petrus menyangkal identitasnya dengan
berkata, “bukan.” Jawaban itu menunjukkan bahwa Petrus sedang menyatakan bahwa
ia bukanlah murid Yesus.
Dari sinilah kita dapat membaca kembali pertanyaan
Yesus kepada Petrus, “apakah engkau mengasihi Aku?” bukan sebagai ujian bagi
Petrus, atau untuk mempersalahkan dan menghukumnya, serta memintanya untuk
bertobat. Pertanyaan yang diajukan Yesus sampai tiga kali ini juga bukan untuk
mengingatkan Petrus atas penyangkalannya sebanyak tiga kali. Pertanyaan “apakah
engkau mengasihi Aku?” adalah pertanyaan yang mengajak Petrus untuk berdamai
dengan dirinya sendiri. Itu adalah pertanyaan untuk menegaskan kembali siapa
jati diri Petrus sebenarnya. Petrus diingatkan bahwa ia adalah murid Yesus yang
mengasihi-Nya, bahkan rela mati bagi Yesus. Petrus diajak untuk merangkul
identitasnya yang sempat ia sangkal, agar dapat menerima tanggung jawab yang
diberi Yesus kepadanya, menggembalakan domba-domba-Nya.
Berdamai
dengan Kerapuhan
Menjadi murid Yesus, menggembalakan domba-domba-Nya
bukanlah perkara mudah. Jika kembali melihat bagaimana Petrus menyangkal identitasnya
sebagai murid Yesus, kita dapat membayangkan perasaan Petrus saat itu. Ia
melihat gurunya ditangkap, dipersekusi, dan dianiaya. Mungkin ada ketakutan
dalam diri Petrus bahwa apa yang terjadi pada Yesus juga akan terjadi pada
dirinya. Mungkin bayangan akan penderitaan Yesus begitu mengusik dirinya
sehingga lidahnya kelu untuk mengakui jati dirinya. Mungkin juga ia tidak
percaya bahwa dirinya sanggup menjalani apa yang Yesus jalani, jalan salib.
Intinya, seorang Simon Petrus yang impulsif, cenderung gegabah dan sembrono,
yang bertindak dulu baru berpikir, tetapi juga keras kepala dan berpendirian
teguh seperti batu karang, ternyata memiliki kerapuhan dalam dirinya. Kerapuhan
dalam dirinya itulah yang membuat ia gagal untuk merengkuh jati dirinya sebagai
murid Kristus.
Namun dalam kerapuhan Petrus, Yesus menghampirinya dan
bertanya, “Apakah engkau mengasihi Aku?” Sebuah pertanyaan yang mengajak Petrus
untuk merangkul jati dirinya di dalam segala keterbatasan dan kerapuhannya.
Yesus tidak meminta Petrus untuk menjadi pribadi yang tangguh dan tak bercacat.
Yesus tidak meminta ia untuk memohon pengampunan dan bertobat. Yesus tidak
meminta ia untuk menutupi kelemahan-kelemahan dirinya. Yesus meminta Simon
Petrus untuk menerima keberadaan dirinya. Yesus meminta ia untuk merangkul
dirinya dalam segala kerapuhannya. Yesus tidak hanya mengajak Simon untuk
berdamai dengan dirinya sendiri, Yesus juga mengajak ia untuk berdamai dengan
kerapuhannya. Yesus meminta Petrus untuk menggembalakan domba-Nya, sekalipun mungkin
Petrus merasa dirinya tidak layak menjadi gembala. Dalam kerapuhan Petrus,
Yesus memercayainya, dan inilah yang membesarkan hati serta membangkitkan
perasaan diri berharga.
Oleh karena itu, jawaban Petrus, “Engkau tahu bahwa
aku mengasihi Engkau,” tidak lagi merupakan jawaban impulsif Petrus. Jawaban
itu muncul dari rasa diri berharga karena dicintai, dari keberanian untuk
merangkul kerapuhan, dari jati diri yang telah diperdamaikan. Memang kemudian
banyak rintangan yang harus Petrus hadapi. Kadang kala ia menunjukkan kelemahan
dan kerapuhannya sebagai seorang gembala. Tetapi Allah tetap memakainya
melakukan karya keselamatan-Nya. Begitulah Allah yang saya kenal dalam Kristus.
Ia tidak menuntut kesempurnaan kita. Ia tidak butuh kita menjadi murid teladan.
Ia membutuhkan kita menjadi murid-Nya yang berkomitmen sekalipun tidak sempurna,
yang menerima keberadaan diri, dan bersedia merengkuh kerapuhan. Karena di
dalam kerapuhan itulah, karya Allah menjadi nyata.
Engkau
Tahu bahwa Aku Mengasihi-Mu
Setiap orang memiliki kerapuhan dalam dirinya, tidak
terkecuali seorang pendeta. Pendeta, sama seperti Petrus, juga diharapkan
menjadi gembala, menggembalakan domba-domba Allah. Namun, seorang gembala tidak
pernah sempurna. Ada kelemahan dan kerapuhan dalam diri seorang pendeta atau
gembala, yang mungkin membuatnya ragu untuk menjawab panggilan Allah menjadi
gembala. Beberapa orang berusaha menutupi kerapuhannya itu dengan selalu tampil
sempurna dan berusaha selalu menjadi teladan bagi domba-dombanya. Beberapa
menutupinya dengan berusaha selalu menjawab perguluman domba-domba yang
digembalakannya. Ini sebenarnya menunjukkan bahwa mereka belum berdamai dengan
diri sendiri dan merengkuh kerapuhan mereka.
Yesus meminta Petrus bukan untuk menjadi gembala yang
sempurna, serta menghilangkan semua kelemahan dan kerapuhannya. Yesus meninta
ia untuk menerima keberadaan dirinya dan merengkuh kerapuhannya. Kerapuhan kita
memang membuat kita ragu akan kelayakan kita untuk melayani. Tetapi, mana ada
manusia yang layak? Justru dalam ketidaklayakan itulah, Allah melayakkan kita.
Dalam kelemahan itulah, justru kita menunjukkan kuasa dan karya Allah. Melalui
kerapuhan kita, Roh Kudus berkarya menyatakan rahmat dan cinta Allah. Ketika
kita mau berdamai dan merengkuh kerapuhan, saat itulah kita memberi ruang bagi
Roh Kudus untuk berkarya. Jawaban Petrus, “Engkau tahu bahwa aku mengasihi
Engkau,” menunjukkan bahwa ia telah berdamai dengan dirinya dan mau merengkuh
kerapuhannya. Petrus adalah pribadi yang lemah, ia tak kuasa mengontrol
emosinya, ia juga ketakutan ketika berhadapan dengan penderitaan. Tetapi jawabannya
memberi ruang bagi Roh Kudus untuk berkarya.
Menutup refleksi ini, saya berharap bagi Nanda semoga kata-kata
“Engkau tahu aku mengasihi-Mu” tidak hanya menjadi tema dalam kebaktian
penahbisan semata, tetapi juga menjadi jawaban atas pertanyaan Allah, “Apakah
Engkau mengasihi Aku.” Semoga pengakuan ini menjadi bentuk penerimaan diri
untuk merengkuh kerapuhan serta memberi ruang bagi karya Roh Kudus dan rahmat
Allah di dalam Kristus. Selamat menjawab panggilan Allah untuk menggembalakan
domba-domba-Nya.
(Tulisan ini dibuat dalam rangka penahbisan Firmanda Tri Permana ke dalam jabatan Pendeta GKI di jemaat GKI Sepanjang Sidoarjo)
Comments
Post a Comment