Skip to main content

Ayu Ting Ting, Kamseupay, Sub-Altern

Mendengarkan lagu Ayu Tingting yang berjudul "Sik-asik" mengingatkan saya akan perbincangan dengan teman-teman beberapa waktu lalu mengenai komunitas sub-altern. Sebenarnya ini berkaitan dengan behasa sebagai alat kolonalisasi dan perlawanan dari komunitas sub-altern. Apa hubungannya Ayu Tingting dengan bahasa?

Baiklah. Kalau saya mendengar musik, biasanya saya akan berusaha mengasosiasikan lagu yang saya dengar dengan salah satu genre musik yang sudah dikenal (baca: baku). Misalnya, lagu "Don’t Worry"-nya Mas Tony Q akan diasosisasikan dengan genre musik reggae; atau lagunya Taylor Swift yang berjudul "Love Story" dengan mudahnya akan saya identifikasi sebagai musik country. Nah, bagaimana dengan "Sik-asik"-nya Ayu Tingting? Agak nge-dangdut, tapi sedikit K-Pop. Kalau menurut Ko Hans, lagu Sik-asik adalah salah satu bentuk perlawanan komunitas sub-altern  terhadap kemapanan yang selalu berhubungan dengan kolonialisasi. Nah, ini sebenarnya yang terjadi pada musik punk di era 1990-an. Perlawanan punk ditunjukkan bukan hanya dari jenis musikanya, tetapi juga melalui kata-kata pada liriknya. Sayangnya, sekarang punk sudah mulai mapan. Punk pun terbeli oleh para kapitalis industri musik yang membungkam suaranya. Punk kehilangan geliatnya.

Yang menarik dari "Sik-asik" (entah disadari atau tidak), ia telah keluar dari kemapanan genre musik dan membentuk satu genre baru yang cukup menghentak dunia musik. Ini biasanya terjadi pada komunitas sub-altern. Komunitas sub-altern sebagai komunitas yang terpinggirkan, tersigkirkan, dan tertindas, membentuk nilai-nilainya sendiri sebagai perlawanan terhadap kemapanan. Mereka menyuarakan suara-suara yang seringkali luput dari pendengaran masyarakat. Sayangnya, ketika suara-suara sub-altern mulai menggema, para kapitalis segera membungkamnya dengan kemapanan. Inilah yang, menurut saya, terjadi pada musik punk. Suara-suara perlawanan punk lama-kelamaan dibungkam oleh kapitaslisasi industri musik untuk meredam pemberontakannya.

Namun demikian suara-suara sub-altern akan terus berkumandang. Misalnya dalam bahasa. Selama ini bahasa dibakukan, dibuatlah kamus kosakata baku untuk mengontrol perkembangan bahasa. Akan tetapi selalu saja berkembang kosakata tidak baku dalam pergaulan masyarakat. Menurut Ci Yesie, kata-kata seperti kamseupay, unyu-unyu, dan lain-lain merupakan bentuk perlawanan sub-altern terhadap kemapanan dan kolonialisasi. Kata Mbak Bobo, mengutip entah dari mana (lupa, ces), bahasa merupakan alat kolonialisasi. Bahasa dan pembakuan kosakata kadang menjadi alat kolonialisasi dan menolak keberadaan komunitas sub-altern.  Melalui bahasa juga komunitas sub-altern memperdengarkan suara-suara perlawanannya terhadap kolonialisasi. Karena itu, bahasa selain dapat dijadikan alat kolonialisasi, dapat juga dijadikan alat perlawanan terhadap kolonialisasi.

O ya, menurut saya komunitas sub-altern bukan hanya komunitas maryarakat yang bener-benar terpinggirkan, seperti waria, komunitas homoseksual, anak jalanan, orang-orang dengan disabilitas, masyarakat miskin pinggiran dan lain-lain, tetapi juga masyarakat pada umumnya yang gerah terhadap kemapanan dan kontrol yang berlebihan dari penguasa. Semakin dibabat, semakin merambat, komunitas sub-altern yang terus-menerus dibungkam juga akan semakin menggeliat.

Comments

Popular posts from this blog

KRISTEN PROGRESIF

Beberapa waktu belakangan, sedang ramai nih di media sosial yang resah soal Kristen Progresif. Saya dibagikan video-video ceramah beberapa "tokoh" Kristen. Katanya Kristen Progresif ini dipropagadakan di Indonesia oleh Brian Siawarta, seorang pastor yang eksis di media sosial. Banyak orang Kristen resah sebab katanya Kristen progresif ini sesat lah, jadi ancaman kekristenan lah, yang tidak percaya Alkitab lah, tidak mengakui Yesus sebagai juruselamat lah, dan lain-lain. Wah... Saya juga jadi ikutan resah nih . Sebenarnya apa sih Kristen Progresif itu? Kalau berdasarkan definisi para "tokoh" Kristen dan orang-orang yang resah, Kristen progresif itu ya aliran sesat. Namun, itu pelabelan yang menurut saya terlalu sempit dan picik. Karena itu, mari kita lihat dulu arti kata "progresif". Menurut KBBI, "progresif" berarti, 1. ke arah kemajuan; 2. berhaluan ke arah perbaikan keadaan sekarang (tentang politk); 3. bertingkat-tingkat naik (tentang aturan

Kasih Allah akan Semesta

(Telah dipublikasi dalam Majalah Berkat Edisi Desember 2018 Tahun XXX nomor 121, dengan judul "Kasih Dinyatakan dalam Perbuatan") Identitas kekristenan sejatinya ialah cinta kasih. Sayangnya, seringkali kasih menjadi sekadar slogan dan kata-kata indah yang tak jarang kehilangan maknanya. Sayangnya, kasih hanya berhenti pada kata, puisi, lagu, atau wacana dan keyakinan saja, tanpa terlihat wujudnya. Seorang psikiater asal Amerika, Karl Menninger, mengatakan “Sebenarnya cinta adalah obat bagi semua penyakit dan penderitaan di dunia. Namun pada kenyataannya, cinta menjadi suatu resep yang sering diberikan tapi jarang digunakan.” Kasih dibicarakan dan dikumandangkan di mimbar-mimbar ibadah dengan segala konsepnya; gereja berteori tentang bagaimana mengasihi orang lain, namun, semua hanya sebatas teori. Kenyataan ini pun yang terjadi di jemaat tujuan surat Yohanes. Kasih sering sekali diucapkan, namun tindakan tidak semanis ucapan. Kenyataan ini yang menjadi dasar bagi kritik

Saya Tidak Tahu

Sahabat Sepanjang Embara oleh Galabara Ketika sahabat saya, Ujun Junaedi, meminta saya menulis refleksi untuk penahbisannya, saya agak mempertanyakan tema yang ia angkat, “Sahabat dalam Embara.” “Yakin embara?” tanya saya kepadanya. Kata embara dalam Bahasa Indonesia berarti pergi ke mana-mana tanpa tujuan dan tempat tinggal tertentu. Dengan demikian, embara bisa diartikan sebagai perjalanan ke mana-mana yang tak tentu arah, perjalanan yang tanpa tujuan. Dengan menggunakan kata “embara” apakah Ujun memahami ziarah kehidupannya sebagai perjalanan yang tanpa tujuan? Tentu ia memiliki alasannya sendiri memilih tema ini, yang ia tuliskan juga dalam refleksi penahbisannya. Saya di sini tidak akan membahas refleksi Ujun lebih jauh. Sila anda baca sendiri refleksinya dan alasannya memilih kata “embara” tersebut. Saya sendiri melihat kata embara dari sudut pandang yang berbeda dari Ujun. Teks Kitab Suci yang diangkat sebagai landasan tema ini adalah kisah Perjalanan ke Emaus. Kisah i