Skip to main content

Pencitraan: Sekadar Citra atau Menjadi Mitra

Pemilu semakin dekat. Partai-partai dan caleg-calegnya semakin gencar mengiklankan diri. Semakin aneh-aneh juga kampanye dalam bentuk poster, stiker, dan baliho. Saya ingat pada saat banyak terjadi bencana seperti banjir dan erupsi gunung berapi beberapa waktu lalu, tidak jarang saya menemukan bendera-bendera partai di posko-posko penanggulanan bencana. Kalau biasanya hanya lembaga swadaya masyarakat atau lembaga pemerintahan yang kerepotan mendirikan posko-posko untuk menolong korban bencana alam, sekarang posko-posko berbendera partai juga menjamur seperti cendawan di musim hujan. Bukan hanya bendera atau lambang partai yang terpampang, tetapi juga nama dan foto caleg ikut menghias posko penanggulangan bencana itu. Lalu, ke mana saja orang-orang atau partai-partai itu pada bencana banjir setahun dan beberapa tahun lalu? Di sini kelihatan bahwa caleg-caleg itu mau memperlihatkan kalau mereka peduli pada korban bencana alam.
Semakin dekat pemilu, para pembesar partai yang memiliki media massa memanfaatkan juga media mereka untuk tujuan kampanye. Sebut saja MNC Group, Viva Group, Media Indonesia Group, dan grup-grup lainnya (bisa juga grup BBM, grup WA, grup FB). Ada juga yang memanfaatkan popularitas blusukan yang gencar dilakukan Jokowi untuk mencari dukungan. Jelas sekali kita melihat di televisi beberapa tokoh partai (dan juga capres/cawapres) memperlihatkan diri mereka sedang blusukan di pasar, jalan-jalan, pemukiman warga, sawah, dan berbagai tempat. Padahal Jokowi sendiri tidak pernah mengekspos blusukan-nya.
Beberapa waktu yang lalu, saya bertemu dengan seorang caleg yang datang ke gereja tempat saya melayani di Cianjur dan memperkenalkan diri sebagai saudara seiman dari Bandung yang sedang mengajukan diri untuk menjadi anggota DPR-RI melalui salah satu partai politik. Ia dan tim suksesnya juga memperkenalkan diri pada anggota-anggota jemaat sambil membagi-bagikan kartu nama dengan tidak lupa mengucapkan kata kunci “saudara seiman.” Tindakan ini memberi kesan bagi saya bahwa caleg ini mau meraih dukungan dengan menunjukkan diri sebagai orang Kristen, supaya didukung dan dan dipilih oleh orang-orang Kristen lainnya.

Politik Pencitraan
Ketiga kasus tadi hanya sedikit dari banyak hal yang dilakukan caleg-caleg dan partai politik untuk meraih simpati masyarakat dalam rangka menggalang dukungan rakyat supaya mereka dapat menjadi anggota dewan. Cara yang mereka gunakan adalah memperlihatkan diri sebagai orang-orang yang baik, yang peduli, bahkan membawa-bawa agama. Ini yang dinamakan politik pencitraan. Politik pencitraan adalah cara bertindak orang dengan cara memberi gambaran atau tampilan yang baik supaya mendapatkan simpati. Kata dasarnya adalah citra, yang artinya rupa, gambaran, atau tampilan. Dalam kasus caleg, pencitraan dilakukan supaya masyarakat melihat gambaran atau tampilan yang baik-baik lalu bersimpati, dan memilih mereka. Politik pencitraan tidak hanya dilakukan oleh para calon legislatif, tetapi juga oleh para pejabat dan pemimpin negara untuk meraih simpati masyarakat (mungkin supaya terpilih lagi di periode berikutnya).
Jeleknya pencitraan adalah tindakan-tindakan baik dan peduli hanya dilakukan untuk memberi kesan padahal dalam kenyataannya belum tentu seperti itu. Demikian juga membawa embel-embel agama, dalam hal ini Kristen, belum tentu dalam kehidupan sehari-hari ia bertindak sebagai orang Kristen. Belum tentu juga ketika terpilih nanti ia menjadi Kristen, pengikut Kristus yang peduli, penuh kasih dan memperjuangkan keadilan, serta menjadi berkat bagi masyarakat.
Berbicara soal citra, sebenarnya citra tidak perlu diperjuangkan sampai sebegitunya gencarnya. Citra akan terlihat dengan sendirinya. Orang akan mengetahui siapa kita dari sikap dan tindakan kita sehari-hari, bukan sikap dan tindakan pada waktu menjelang pemilu. Orang Kristen adalah orang yang menjadi sesama bagi yang lain setiap saat, bukan yang menjadi sesama ketika mencalonkan diri menjadi pejabat. Masyarakat pun dapat menilai, bukan hanya dari citra yang ditampilkan tetapi dari apa yang sudah, sedang, dan akan dilakukan, tanpa perlu ditampil-tampilkan, dipamer-pamerkan, atau diekspos-ekspos,. Orang-orang yang perlu pencitraan yang baik, biasanya karena aslinya tidak begitu baik.

Citra dan Mitra Allah
Sebagai orang percaya, kita menyakini bahwa manusia diciptakan sesuai atau menurut gambar Allah atau citra Allah. Citra Allah sendiri adalah Kristus, maka kita diciptakan menurut atau di dalam Kristus. Jadi kita adalah gambaran atau citra Kristus. Citra Kristus bukan hanya dalam bentuk fisik, memiliki tangan, kaki, kepala, wajah, telinga, hidung dan lain-lain. Menjadi citra Kristus berarti juga menjadi mitra, menjadi rekan sekerja-Nya untuk ikut serta melakukan karya keselamatan-Nya di dalam dunia. Kita diciptakan bukan hanya menurut citra Allah, tetapi juga sebagai mitra Allah. Manusia diciptakan dan ditempatkan di dalam taman untuk mengusahakan taman itu serta untuk berkuasa atas bumi dan isinya. Maksudnya berkuasa adalah mengusahkan kebaikan bagi bumi dan segala isinya. Citra Allah dalam Kristus itu tidak lengkap jika kita tidak menjadi mitra-Nya dalam menghadirkan karya Allah bagi dunia.
Menjadi citra Allah dalam Kristus, tidak cukup hanya dengan mengaku diri sebagai orang Kristen, pergi ke gereja, menggunakan atribut salib, yang memperlihatkan kalau kita ini orang Kristen. Menjadi citra Allah, berarti juga mau menjadi mitra-Nya untuk mengusahakan kebaikan bagi seluruh ciptaan, bukan hanya pada waktu-waktu tertentu, tetapi setiap saat selama kita masih diberi kehidupan. Menjadi mitra Allah juga bukan hanya pengakuan bahwa kita ini rekan sekerja Allah, tetapi dalam tindakan kita yang menunjukkan kepadulian bagi sesama setiap saat. Jangan seperti caleg-caleg yang menunjukkan citranya yang baik pada saat mau pemilu, tetapi saat tidak ada pemilu mereka tidak kelihatan. Citra yang baik akan kelihatan jika kita juga melakukan kebaikan juga. Tidak perlu mengejar citra dengan tindakan-tindakan insidental sebelum pemilu. Beberapa pemimpin daerah memperlihatkan itu. Mereka bekerja sekuat tenaga untuk mengusahakan kesejahteraan bagi rakyatnya, citra yang baik pun mengikuti. Tanpa kampanye yang macam-macam pun mereka didukung rakyat, karena tindakan mereka benar-benar peduli tanpa berniat pencitraan.
Sebagai orang Kristen, kita pun perlu menyadari bahwa orang akan melihat Kristus dalam diri kita jika kita menjadi rekan sekerja-Nya untuk menghadirkan karya keselamatan-Nya bagi dunia melalui tindakan kita sehari-hari yang peduli, jujur, rendah hati, tulus, mau berbagi. Tidak perlu dengan hal-hal yang spektakular yang menghabisakan dana besar seperti para caleg, tetapi cukup tindakan  sederhana yang didasari ketulusan. Dengan demikian, tidak perlu disengaja pun kita menampakkan citra yang baik sebagai mitra Kristus.
Menjelang pemilu 2014 ini, kita pun perlu bijaksana dalam menentukan siapa yang akan kita pilih menjadi wakil rakyat di DPR. Kita perlu bijaksana untuk melihat siapa yang hanya menunjukkan dirinya yang baik dan peduli menjelang pemilu, serta siapa yang benar-benar baik dan peduli tanpa berusaha memperlihatkannya; Siapa yang menolong korban bencana sebelum pemilu dengan stiker “coblos nomor sekian,” dan siapa yang memang memberi dirinya secara sukarela untuk menelong korban bencana; Siapa yang mengaku “saudara seiman” atau “orang Kristen,” dan siapa yang memang hidup sebagai rekan sekerja Kristus untuk menghadirkan kasih, memperjuangkan keadilan, memberi dan berbagi dengan sesama, berbela rasa kepada yang miskin dan tertindas tanpa harus membawa lebel agama. Semoga kita lebih bijaksana dalam menyikapinya.

Comments

Popular posts from this blog

KRISTEN PROGRESIF

Beberapa waktu belakangan, sedang ramai nih di media sosial yang resah soal Kristen Progresif. Saya dibagikan video-video ceramah beberapa "tokoh" Kristen. Katanya Kristen Progresif ini dipropagadakan di Indonesia oleh Brian Siawarta, seorang pastor yang eksis di media sosial. Banyak orang Kristen resah sebab katanya Kristen progresif ini sesat lah, jadi ancaman kekristenan lah, yang tidak percaya Alkitab lah, tidak mengakui Yesus sebagai juruselamat lah, dan lain-lain. Wah... Saya juga jadi ikutan resah nih . Sebenarnya apa sih Kristen Progresif itu? Kalau berdasarkan definisi para "tokoh" Kristen dan orang-orang yang resah, Kristen progresif itu ya aliran sesat. Namun, itu pelabelan yang menurut saya terlalu sempit dan picik. Karena itu, mari kita lihat dulu arti kata "progresif". Menurut KBBI, "progresif" berarti, 1. ke arah kemajuan; 2. berhaluan ke arah perbaikan keadaan sekarang (tentang politk); 3. bertingkat-tingkat naik (tentang aturan

Kasih Allah akan Semesta

(Telah dipublikasi dalam Majalah Berkat Edisi Desember 2018 Tahun XXX nomor 121, dengan judul "Kasih Dinyatakan dalam Perbuatan") Identitas kekristenan sejatinya ialah cinta kasih. Sayangnya, seringkali kasih menjadi sekadar slogan dan kata-kata indah yang tak jarang kehilangan maknanya. Sayangnya, kasih hanya berhenti pada kata, puisi, lagu, atau wacana dan keyakinan saja, tanpa terlihat wujudnya. Seorang psikiater asal Amerika, Karl Menninger, mengatakan “Sebenarnya cinta adalah obat bagi semua penyakit dan penderitaan di dunia. Namun pada kenyataannya, cinta menjadi suatu resep yang sering diberikan tapi jarang digunakan.” Kasih dibicarakan dan dikumandangkan di mimbar-mimbar ibadah dengan segala konsepnya; gereja berteori tentang bagaimana mengasihi orang lain, namun, semua hanya sebatas teori. Kenyataan ini pun yang terjadi di jemaat tujuan surat Yohanes. Kasih sering sekali diucapkan, namun tindakan tidak semanis ucapan. Kenyataan ini yang menjadi dasar bagi kritik

Saya Tidak Tahu

Sahabat Sepanjang Embara oleh Galabara Ketika sahabat saya, Ujun Junaedi, meminta saya menulis refleksi untuk penahbisannya, saya agak mempertanyakan tema yang ia angkat, “Sahabat dalam Embara.” “Yakin embara?” tanya saya kepadanya. Kata embara dalam Bahasa Indonesia berarti pergi ke mana-mana tanpa tujuan dan tempat tinggal tertentu. Dengan demikian, embara bisa diartikan sebagai perjalanan ke mana-mana yang tak tentu arah, perjalanan yang tanpa tujuan. Dengan menggunakan kata “embara” apakah Ujun memahami ziarah kehidupannya sebagai perjalanan yang tanpa tujuan? Tentu ia memiliki alasannya sendiri memilih tema ini, yang ia tuliskan juga dalam refleksi penahbisannya. Saya di sini tidak akan membahas refleksi Ujun lebih jauh. Sila anda baca sendiri refleksinya dan alasannya memilih kata “embara” tersebut. Saya sendiri melihat kata embara dari sudut pandang yang berbeda dari Ujun. Teks Kitab Suci yang diangkat sebagai landasan tema ini adalah kisah Perjalanan ke Emaus. Kisah i