Belakangan ini, saya sering melihat mobil Jeep
Rubicon melintas di jalanan Jakarta. Mobil itu cukup keren menurut saya. Ya, mobil Jeep yang pada masa Perang Dunia II
menjadi kendaraan para tentara Amerika ini, sekarang sudah banyak jenisnya.
Salah satunya adalah Rubicon. Kalau
sepengetahuan saya sih, Rubicon
adalah nama kuno Latin untuk sebuah sungai kecil di Italia sebelah utara. Pada
zaman Republik Romawi, hukum melarang semua jendral menyeberangi sungai ini dengan
pasukan siaga untuk melindungi negara dari ancaman militer internal. Jendral
yang menyeberangi Rubicon dengan
pasukan dianggap melanggar hukum dan melawan republik.
Julius Caesar dikenal sebagai jendral Romawi
yang berani menyeberangi sungai Rubicon pada 49 SMB untuk memperjuangkan hak
para tentara Romawi yang dipermainkan para senator. Dengan menyeberangnya
Caesar beserta pasukannya, ia menimbulkan sebuah konflik militer yang tak
terelakkan. Ini konsekuensi yang harus ditanggungnya karena menyeberangi sungai
Rubicon, konsekuensi yang harus ditanggungnya karena memperjuangkan apa yang
dianggapnya benar. Menyeberangi Rubicon berarti tidak bisa kembali lagi dan
bersedia menerima apa pun konsekuensinya.
John Hick menggunakan frasa "crossing the Rubicon" untuk
menggambarkan posisinya sebagai seorang pluralis. Menurut Hick, ia harus
memperjuangkan pluralisme dan melawan eksklusivisme kekristenan yang
mengganggap tidak ada jalan lain menuju keselamatan selain Yesus Kristus. Dalam
pemikiran Hick, Yesus Kristus hanyalah salah satu jalan di antara banyak jalan
untuk menuju kepada "The Real"
(bahasa Hick untuk menyatakan tujuan akhir religius, atau Allah). Kekristenan
hanyalah salah satu jalan di antara banyak agama lain dengan jalannya
sendiri-sendiri untuk menuju kepada "The
Real" tersebut. Dengan mengambil sikap ini, ia telah menyeberangi
sungai Rubicon dan bersedia menerima apa pun kosekuesninya.
Namun demikian, dengan posisi teologisnya ini, Hick
telah mereduksi partikularitas setiap agama. Ia menggeneralisasi semua agama yang berbeda-beda ke dalam satu tujuan yang sama,
yakni "The Real." Ia lupa
bahwa tidak semua agama menuju kepada "The Real."
Belum tentu semua agama menuju kepada yang satu itu. S. Mark Heim menentang
posisi ini dengan menggunakan kata "salvations"
(menambhkan huruf "s" di akhir kata sebagai keterangan jamak) untuk
memperlihatkan bahwa keselamatan tidak hanya tunggal, tetapi ada banyak.
Bahkan, kemudian ia tidak lagi menggunakan "salvations" tetapi "religious
ends" untuk menujukkan bahwa keselamatan bukan tidak identik dengan
tujuan akhir religius dalam setiap agama. Keselamatan adalah bahasa
kekeristenan untuk menyatakan tujuan akhirnya. Agama-agama lain tidak mengenal
keselamatan sebagai tujuan akhir religius. Tujuan akhir Buddhisme, misalnya,
tidak menuju pada keselamatan tetapi kekosongan. Heim lebih menghargai
partikularitas dan keunikan agama-agama. Dengan demikian, Heim mematahakan
pandangan Hick yang melihat semua agama menuju kapada satu tujuan.
Dari sini, saya melihat bukan hanya Hick yang
menyeberangi Rubicon, tetapi juga Heim. Heim juga berani mengambil konsekuensi
untuk melawan dan memperjuangkan. Ia melawan pluralisme Hick yang mereduksi
partikularitas dan memperjuangkan partikularitas tiap agama sambil tetap
terbuka dan menerima keberadaan agama-agama, yang tidak hanya berbeda jalan
tetapi juga berbeda tujuan, sebagai kepelbagaian yang memperkaya.
Cukup kuliah Teologi Agama-agamanya. Kembali
kepada semangat awal menyeberangi sungai Rubicon. Saya melihat bahwa
menyeberangi Rubicon adalah sebuah penentuan sikap atau posisi seseorang yang
berbeda dari yang umum. Caesar mengambil sikap yang berbeda bahkan melawan
senat Romawi. Ia berani menyeberangi Rubicon, dengan konsekuensi perang, untuk
memperjuangkan posisi yang dianggapnya benar. Menyeberangi Rubicon berarti
tidak dapat kembali lagi. Mengambil suatu sikap berarti tidak dapat berbalik
lagi. Konsekuensi harus diterima sekalipun akan terjadi sesuatu yang tidak
mengenakkan. Hick dan Heim mengambil posisi teologis mereka dengan konsekuensi
terjadinya konflik teologis.
Mengambil sikap berarti tidak bisa mundur lagi
dan bersedia menerima konsekuensinya. Ya, seperti menyeberangi Sungai Rubicon.
Menyeberang berarti tidak bisa kembali dan siap berperang. Karena itu, dalam
mengambil sikap kita harus tahu dulu apa risiko atau konsekuensinya, karena
ketika sudah mengambil sikap, kita tidak bisa kembali lagi dan harus menerima
konsekuensinya. Dan saat mengambil sikap, kita harus kuat dan siap. Seperti
crossing the Rubicon.
Comments
Post a Comment