Skip to main content

The Partaker


Mengapa partaker? Partaker adalah kata benda yang diturunkan dari kata kerja partake, yang artinya "mengambil bagian." Jadi, partaker dapat diterjemahkan "pengambil bagian" atau "orang yang mengambil bagian." Mengambil bagian dalam apa? Ini yang perlu dijelaskan.
Partaking, partisipasi, atau ambil bagian sering kita lihat dalam kerangka sebuah kegiatan. Misalnya, saya mengambil bagian atau berpartisipasi dalam upacara bendera di sekolah, atau saya mengambil bagian dalam perkumpulan tertentu. Namun, mengambil bagian yang saya maksud di sini adalah mengabil bagian dalam Allah, dalam persekutuan Allah.
Dalam kekristenan, teruma kekristenan Timur, berpartisipasi atau mengambil bagian dalam Allah menjadi konsep yang penting dan merupakan tujuan kehidupan manusia. Allah menciptakan manusia dan ciptaan lainnya untuk mengambil bagian dalam persekutuan (koinonia) dengan Allah. Namun, tujuan ini dirusak oleh dosa. Dosa (hamartia) berarti meleset, melenceng, atau menyimpang. Dosa mengindikasikan bahwa manusia telah meleset dari tujuan semula, yakni persekutuan dengan Allah.
Untuk itu, Allah mengosongkan diri-Nya, memberi ruang bagi ciptaan untuk berelasi dan bersekutu dengan-Nya. Allah memberi ruang melalui Firman, yang kemudian menubuh dalam pribadi Kristus. Kristus adalah Allah yang mengosongkan diri dan menjadi sama dengan ciptaan agar ciptaan dapat menjadi sama dengan Allah. Karena itu, di dalam Kristus, seluruh ciptaan dapat kembali mengambil bagian dalam persekutuan dengan Allah. Dengan demikian, manusia yang berpartisipasi atau mengambil bagian dalam Kristus dimungkinkan untuk dapat mengambil bagian dalam Allah Trinitas.
Manusia dapat mengenal Allah melalui karya Allah dalam Kristus dan Roh Kudus. Roh Kudus yang memelihara sehingga manusia dapat tetap berada dalam persekutuan itu. Karya Allah ke dalam dunia melalui Kristus dan Roh Kudus ini dapat kita kenal karena ada energi Allah yang meliputi seluruh ciptaan. Allah berkarya di dalam energi-Nya yang tidak diciptakan dan tidak terbatas.
Gregorius Palamas, seorang teolog Gereja Timur abad pertengahan, mengatakan bahwa ciptaan dapat berpartisipasi dalam Allah karena ada energi Allah. Energi merupakan salah satu aspek dari tiga aspek dalam Trinitas (dua yang lainnya adalah hakikat dan pribadi). Menurutnya ciptaan tidak dapat berpartisipasi dalam hakikat Allah, karena hakikat Allah tidak terjangkau, tidak terhampiri, tidak dapat dibanyangkan, dan tidak mungkin ciptaan barpartispasi di dalamnya. Jika ciptaan berpartispasi di dalamnya maka ciptaan menjadi sehakikat dengan Allah, atau menjadi Allah. Partisipasi ciptaan dalam Allah hanya mungkin terjadi dalam energi Allah. Energi ini yang melingkupi dan merembes ke dalam seluruh ciptaan sehingga ciptaan dapat mengenal Allah. Karena itu, melalui energi ciptaan dapat berpartisipasi dalam Allah.
Energi Allah juga yang membuat ciptaan mengenal Allah melalui karya-Nya dalam Kristus. Karena itu, pengenal akan Kristus dan partisipasi di dalam Kristus juga membawa ciptaan ke dalam persekutuan dengan Allah, partisipasi dalam Allah. Dengan demikian, ciptaan kembali ke tujuannya semula, yakni koinonia (persekutuan, partisipasi) dengan Allah.
Namun demikian, partisipasi dalam Allah tidak akan sempurna karena perbedaan hakikat ciptaan dengan Allah. Ciptaan yang berbada hakikat dengan Allah tidak mungkin berpartisipasi secara sempurna dalam Allah. Hakikat Allah tidak terjangkau dan tidak terbatas, sedangkan hakikat manusia dibatasi dimensi ruang dan waktu. Ciptaan hanya dapat berpartisipasi dalam energi, yakni gerak karya Allah ke dalam dunia. Namun, partisipasi itu dapat terjadi dengan cara ciptaan meneladani Allah sebagai persekutuan dan turut mengambil bagian dalam gerak kasi Allah ke dalam dunia sambil menanti dalam pengharapan akan partisipasi dan persekutuan yang sempurna dengan Allah
Mungkin pemaparan ini kurang komprehensif untuk menjelaskan partisipasi atau partaking. Tetapi itulah gambaran mengenai partisipasi di dalam Allah. Dengan mengacu pada gagasan di atas, saya mengaku sebagai seorang yang mengambil bagian, seorang partaker di dalam persekutuan dengan Allah.

Comments

Popular posts from this blog

KRISTEN PROGRESIF

Beberapa waktu belakangan, sedang ramai nih di media sosial yang resah soal Kristen Progresif. Saya dibagikan video-video ceramah beberapa "tokoh" Kristen. Katanya Kristen Progresif ini dipropagadakan di Indonesia oleh Brian Siawarta, seorang pastor yang eksis di media sosial. Banyak orang Kristen resah sebab katanya Kristen progresif ini sesat lah, jadi ancaman kekristenan lah, yang tidak percaya Alkitab lah, tidak mengakui Yesus sebagai juruselamat lah, dan lain-lain. Wah... Saya juga jadi ikutan resah nih . Sebenarnya apa sih Kristen Progresif itu? Kalau berdasarkan definisi para "tokoh" Kristen dan orang-orang yang resah, Kristen progresif itu ya aliran sesat. Namun, itu pelabelan yang menurut saya terlalu sempit dan picik. Karena itu, mari kita lihat dulu arti kata "progresif". Menurut KBBI, "progresif" berarti, 1. ke arah kemajuan; 2. berhaluan ke arah perbaikan keadaan sekarang (tentang politk); 3. bertingkat-tingkat naik (tentang aturan

Kasih Allah akan Semesta

(Telah dipublikasi dalam Majalah Berkat Edisi Desember 2018 Tahun XXX nomor 121, dengan judul "Kasih Dinyatakan dalam Perbuatan") Identitas kekristenan sejatinya ialah cinta kasih. Sayangnya, seringkali kasih menjadi sekadar slogan dan kata-kata indah yang tak jarang kehilangan maknanya. Sayangnya, kasih hanya berhenti pada kata, puisi, lagu, atau wacana dan keyakinan saja, tanpa terlihat wujudnya. Seorang psikiater asal Amerika, Karl Menninger, mengatakan “Sebenarnya cinta adalah obat bagi semua penyakit dan penderitaan di dunia. Namun pada kenyataannya, cinta menjadi suatu resep yang sering diberikan tapi jarang digunakan.” Kasih dibicarakan dan dikumandangkan di mimbar-mimbar ibadah dengan segala konsepnya; gereja berteori tentang bagaimana mengasihi orang lain, namun, semua hanya sebatas teori. Kenyataan ini pun yang terjadi di jemaat tujuan surat Yohanes. Kasih sering sekali diucapkan, namun tindakan tidak semanis ucapan. Kenyataan ini yang menjadi dasar bagi kritik

Saya Tidak Tahu

Sahabat Sepanjang Embara oleh Galabara Ketika sahabat saya, Ujun Junaedi, meminta saya menulis refleksi untuk penahbisannya, saya agak mempertanyakan tema yang ia angkat, “Sahabat dalam Embara.” “Yakin embara?” tanya saya kepadanya. Kata embara dalam Bahasa Indonesia berarti pergi ke mana-mana tanpa tujuan dan tempat tinggal tertentu. Dengan demikian, embara bisa diartikan sebagai perjalanan ke mana-mana yang tak tentu arah, perjalanan yang tanpa tujuan. Dengan menggunakan kata “embara” apakah Ujun memahami ziarah kehidupannya sebagai perjalanan yang tanpa tujuan? Tentu ia memiliki alasannya sendiri memilih tema ini, yang ia tuliskan juga dalam refleksi penahbisannya. Saya di sini tidak akan membahas refleksi Ujun lebih jauh. Sila anda baca sendiri refleksinya dan alasannya memilih kata “embara” tersebut. Saya sendiri melihat kata embara dari sudut pandang yang berbeda dari Ujun. Teks Kitab Suci yang diangkat sebagai landasan tema ini adalah kisah Perjalanan ke Emaus. Kisah i